Posts

Showing posts from 2012

mangga tetangga pun kini lebih hijau

Image
Di area tempat tinggal saya, hampir setiap rumah menanam mangga. Mungkin mangga jadi tanaman wajib oleh pemerintah setempat - bisa jadi. Kebayang, kalau musim mangga tiba ya orang-orang pada panen raya. Rumah yang saya tinggali pun 'mengandung' pohon mangga. Tahun lalu buahnya buruk, selain sedikit, kalau dipotong dagingnya kayak ada hitam-hitamnya. Jadi tahun lalu saya nggak ikutan panen, mending beli kalau pas pingin. Nah, tahun ini rupanya pohon mangga saya berubah aliran, selain daunnya banyak, buahnya juga rada menggila. Mr. Romlah - sebut saja begitu, tetangga saya yang baik hati, sudah berkali-kali bilang kalau buah mangga dari pohon saya kali ini enak. Layak  download,  eh unduh, dan layak santap.  Semula, saya tidak percaya begitu saja, lha wong Mr.Romlah ini sering salah dan sok tahu. Tapi akhirnya saya percaya, setelah saya sedikit curiga kalau beliau diam-diam telah mencicipi mangga dari pohon saya. Maklum pohon mangga miliknya agak telat berbuah, mungkin

CLBK ?

Image
Kemarin ada teman lama yang telpon. Katanya ia sedang dilanda C-L-B-K, yang konon singkatan dari "Cinta Lama Bersemi Kembali", padahal bisa saja jadi akronim dari kata lain. "Cilukba" misalnya. Eh belakangan saya dengar kalau teryata CLBK juga singakatan dari : Cinta Lama Belum Kelar. Hmm, bisa diterima...  Btw, saya turut gembira mendengar kabar CLBK versi teman lama saya itu, apalagi tampaknya kehidupan pribadinya cukup gersang. Ia terdengar begitu antusias menyambut kedatangan cinta lamanya tersebut. Meski awalnya ia sempat ragu, tapi saya dengan sok bijaksana menyakinkan kalau semua orang bisa mendapat kesempatan kedua, ketiga, kesebelas dan seterusnya. Saya menghujaninya dengan segala macam nasehat sok tahu plus menyemangatinya yang tanpa henti. Tentu saja saya tak bilang kalau tak semua CLBK membawa berkah. Sebaliknya malah. Tidak usah jauh-jauh, tahun lalu saya sendiri sempat menjadi pelaku CLBK, sebelum lantas jadi korbannya. Bertemu seseorang dari masa

REUNI - the novel

Image
Besok, konon, novel perdana saya akan hadir di toko-toko buku di area Jabodetabek.  Setelah sekian lama, tidak ada penerbit yang mau (hiks), saya sungguh tak menyangka kalau Gramedia malah yang menjemput novel saya. Saat diemail oleh salah seorang editor, saya pasrah saja, "Haaaa pasti penolakan lagi...."  Ow, ternyata kali ini isinya beda, saking tidak percayanya, saya sampai forward email itu ke salah seorang sahabat saya. Setelah yakin, baru saya balas dengan suka cita (ya iyalah).  Berhubung saya tinggal di Jogja, yang baru akan bisa melihat, menyentuh, membaui, hingga membaca novel saya secara fisik setelah tanggal 10 September nanti, saat ini saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya nanti kalau berada di toko buku dan melihat novel saya di pajang. Semoga saya tidak pingsan di tempat. Norak memang saya. Anyway, novel saya berkisah tentang : Lima wanita---Sri, Ajeng, Nunik, Yunika, dan Leila---yang berteman di masa kecil mengadakan reuni di kampung halaman

BBM-an yuk!

Image
Dua hari yang lalu, salah seorang teman baik saya sekaligus teman lama, bercerita kalau akhirnya ia menyerah juga untuk tidak membeli BlackBerry. Saya sendiri dengan pongah mengatakan : "Ah saya mah tidak tertarik pakai BB. Mahal kurang berguna."  Mendengar jawaban saya, teman yang baik hati itu terkejut. Dengan diplomatis ia bilang kalau pakai BB karena bisa 'ketemu' BBM-an dengan sesama pengguna dari jaman sekolah dulu. Wah saya jadi nggak enak juga ngejawab terlalu jujur. Hanya saja, memang saya tidak tertarik menggunakan BB sebagai modus komunikasi, ini  plus alasan-alasan klasik nan 'kemampleng' versi saya, seperti : BB kan dibikin di Malaysia - dan saya memegang teguh prinsip tidak akan beli produk Malaysia (kecuali tidak tahu), BB kuno dibanding android dan tentu saja iPhone (yang keduanya juga tak saya miliki), dan sebuah BB dengan segala fiturnya itu mahal menurut kelas saya.  Di luar semua itu, saya juga adalah manusia yang aneh. Saya tid

'alias' part 1

Image
Saya dengar pria suka menamai penis mereka. Sebuah survei di Amerika membuktikan hal itu.  Mereka memberi nama yang menurut saya cukup aneh dan lucu. Kalau tak salah 'John Doe' adalah salah satunya - asal tahu saja 'John Doe' adalah istilah yang digunakan petugas crime lab, detektif atau polisi untuk laki-laki korban kejahatan yang tanpa identitas. Sisanya jelas memilih alias yang terdengar macho dan mendekati kesan perkasa seperti ' stallion' , 'terminator'   hingga   'sex pistol' .  Waow! Saya mencoba mengerti betapa pria teramat sangat bangga dan mencintai penis mereka, hingga menyebutnya dengan ratusan nama, yang bisa jadi dipikirkan secara mendalam melalui tirakat dan semedi 7 hari 7 malam.  Di Indonesia, istilah 'penis' termasuk cukup jarang digunakan. Kebanyakan orang (lagi-lagi) memberi nama alias untuk penis.  Sebagai contoh, media jaman sekarang lebih suka menyebutnya Mr. P - yang menurut saya terlalu kurang jelas, P kan bisa

once upon a time in jogja #1

Image
Ini kisah sebelum jaman krismon, ketika harga karcis naik bus kota buat pelajar hanya 100 perak saja - itu kalau jarak dekat. Rada jauh 150, jauh 200. Ini seingat saya adalah harga standar di Jogja. Kurang tahu kalau di daerah lainnya.  Kala itu yang namanya kejahatan di angkutan umum belum segila sekarang. Pelecehan seksual belum marak - meski jelas bukannya tak ada, paling banter ya copet (nanti kapan-kapan saya akan ceritakan pengalaman saya saat bertemu dengan jenis profesi ini),  atau kondektur yang galak, jadi naik angkot - terutama bus kota memiliki romantika tersendiri.  Duduk atau berdiri sama saja. Dan itu bukan sekedar 'iklan layanan masyarakat' versi pemilik bus kota yang disablon di atas sticker murahan. Masalahnya, duduk dan berdiri toh sama bayarnya. Resikonya juga gak banyak beda. Berdiri gampang disundul kiri kanan depan belakang, resiko kecopetan saat senggolan itu jauh lebih besar. Belum termasuk aroma ketiak tetangga saat bergelantungan. Plus diteriaki

'egla-egle' bak cuaca

Image
Belakangan cuaca benar-benar tak bisa diprediksi. Hujan, panas, mendung, geledek hingga badai bisa datang dan pergi sesuka hati. Satu menit cerah ceria, eh menit berikutnya hujan turun begitu saja. Saya yakin BMG dan para peramal cuaca juga kelimpungan membaca apa yang akan terjadi. Dan mungkin kali ini, apa boleh buat - para pawang hujan lebih berjaya, bahkan mungkin menjadi profesi yang paling panas di musim yang tak karuan ini.   Hari ini saja misalnya, pagi dingin, lalu matahari bersinar cerah, otomatis cerah dong, eh tapi satu jam kemudian mendung sudah menggantung dan tik tik tik bunyi hujan diatas tanah. Kabar gembiranya : saya tak perlu menyirami kebun. Kabar buruknya : cucian tak kering. Kalau ingat cucian, saya jadi sering kesal merasa dipermainkan oleh cuaca yang seenak udelnya ini. Dan entah kenapa itu mengingatkan pada seorang mantan saya yang tampaknya menganut motto : esuk dele, sore tempe, sesuk sak karepe dewe alias 'egla-egle' sebuah kata Semarangan yang ar

hidup ini adalah pilihan?

Image
Saya sudah menyerah pada banyak hal, antara lain:  * Saya tidak lagi pasang antena TV - dan tidak nonton TV membuat saya bisa tidur siang, baca buku hingga membantu mengejar ayam tetangga, dan yang terpenting tidak merasa ter- attach : wah jam 21 ada CSI nih, jam 19 ada American Idol nih, belum lagi sederetan acara infotainment yang bisa bikin pusing kepala, plus tak perlu marah-marah kalau salah mencet  channel nemu sinetron yang mengisahkan anak hilang ketemu ibu angkat berupa wewe gombel.  * Saya tidak lagi merokok. Karena saya bosan keseringan ke dokter gigi, ngebersihin karang yang menempel. Plus harga rokok makin mahal, dan baunya nempel di rambut saya yang wangi. * Tidak tidur terlalu larut, meski kadang kalau sudah ngobrol sama sahabat tahu-tahu sudah jam 4. Lha gimana nggak kebablasan, wong jam murah telpon adalah 00:00 - 06:00 WIB.  * Tidak lagi memacari pria langsing gondrong yang tidak gentleman itu. (sori yang ini memang nyindir, siapa tahu doi baca)  Kat

masalah vertikal

Image
Bulan lalu saya didatangi bu RT. Wah deg-degan juga secara sebagai pendatang baru saya belum   sowan ke rumahnya. Beberapa bulan yang lalu saya cuma menyerahkan fotokopi KTP kepada anak buahnya sambil bayar iuran bulanan. Saya memang pemalu dalam banyak arti. Dan nggak suka sok akrab, jadi saya merasa nggak perlu-perlu amat main ke rumah bapak dan ibu RT sambil membawa camilan dan ber-haha hihi. Pokoknya selama saya tidak membuat keributan, tidak melakukan pekerjaan terlarang, sudah seharusnya mereka dengan bangga menerima saya sebagai warga baru di perumahan ini. Apalagi saya kan bukan kaki tangan teroris.  Eh, ternyata, sambil tersenyum ramah bu RT malah mau memberikan undangan arisan. Setelah sedikit basa-basi (maaf ya bu, saya tidak banyak bicara karena belum sikat gigi), bu RT pun pamitan. Saya tersenyum seramah mungkin seraya mengantar beliau keluar halaman. Tapi, baru lega sedikit beliau berbalik, kali ini wajahnya serius. Saya terpaku di tempat. Lalu, dengan setengah berbis

"Kamu sekarang gemuk atau kurus?"

Image
Itu pertanyaan yang sering dilontarkan teman lama yang sudah lebih dari enam bulan tak ketemu. Atau : "Sekarang berapa (kilo) berat badanmu?"... Saya kurang mengerti, kenapa pertanyaan itu menjadi salah satu pertanyaan utama teman-teman lama tadi. Mungkin memang itu pertanyaan semua orang saat membayangkan teman lamanya yang sudah lama tak bersua, serta diduga telah berubah bentuk. Rata-rata, konon, semakin bertambah waktu kebanyakan jadi bertambah berat badan. Masalahnya, saya nyaris tak pernah menanyakan 'kamu gemuk atau kurus', atau 'berat badanmu berapa kilo?' tadi. Sepele saja, bagi saya berat dan ukuran badan itu sensitif. Saya pernah mengalami berbagai ukuran, dari no 2 hingga 12. Sekarang saya tak begitu tahu pasti berapa ukuran baju saya. Pokoknya ya masih cukup saja yang lama-lama. Di saat berat saya memuncak sekian tahun silam, anehnya saya malah merasa langsing. Saya baru sadar kalau perut saya 'menggelebah' bak gajah setelah melihat fot

sikil pithik

Image
Saya pernah membaca, konon tak semua orang bisa menggemuk atau mengurus secara merata dalam waktu bersamaan.  Artinya begini, ada orang yang gemuk di perutnya duluan, atau lengannya duluan, atau pipinya duluan dan seterusnya. Lalu, konon, bagian terakhir yang menggemuk adalah bagian yang paling bertahan langsingnya.   Nah, ternyata saya termasuk orang yang begini. Kalau tambah berat badan pasti tidak langsung menyebar, biasanya akan nyangkut di perut, lalu pipi, lalu lengan, lalu paha, lalu punggung, dan setelah semuanya menggemuk, kaki (betis) saya tetap saja kurus.  Dan pemerataan lemak yang tak merata itu kadang bikin saya nggak pede pakai rok mini. Padahal koleksi rok mini saya ternyata cukup banyak, dan saya masih belum nyaman pakai kain jarik naik ojek, takut kesrimpet atau malah ujung kain masuk ke roda...wah bisa repot beneran.  http://cdn.bleacherreport.com/images_root/image_pictures/0030/9527/i-love-chicken-legs_crop_340x234.jpg Meski banyak teman yang mengatakan

I want to ride my bicycle

Image
Itu judul lagu milik Queen. Dan bukan lagu favorit saya. Lagu Queen yang paling saya suka adalah "Fat Bottomed Girls", karena sedikit banyak mengingatkan bokong saya di masa lalu. Bicycle alias sepeda belakangan kembali naik daun setelah ada trend para eksekutif bersepeda ke kantor, dalam rangka mengurangi polusi dan memperbesar betis.  Kendaraan roda dua yang pertama kali diperkenalkan di abad ke-19 itu, adalah kendaraan andalan saya dalam banyak arti dan dimensi. Sepeda satu-satunya kendaraan yang saya miliki, sekaligus bisa saya kendarai sejak kecil. Saya masih ingat pertama kali pula sepeda di kelas 3 atau 4 SD. Butuh waktu sekitar seminggu sampai bisa benar-benar melaju di jalanan, tentu saja itu telah melewati tahapan terjatuh, menabrak gapura, kecebur selokan sampai nyelonong ke sawah plus masuk ke bak sampah.  Saya tak pernah menduga kalau sekarang saya kembali 'pit-pitan' alias sepedaan. Dan ketika saudara, sahabat dan kerabat tahu saya tak memili

RESESIONISTA - part 1

Image
Waktu kecil saya sering ditanya : pilih pinter atau kaya? Dan saya selalu menjawab : pinter. Soalnya waktu itu saya berpikir kalau pinter bisa jadi kaya atau minimal ngakalin orang kaya, tapi kalau kaya belum tentu bisa pinter – meskipun belakangan muncul pemikiran : hmmm kalau kaya bisa sewa orang pinter buat ngakalin orang. Itu pula sebabnya saya tidak pernah nge-fan sama paman Gober, atau Donald Trump. Bisa jadi lantaran ‘stigma’ gila yang saya percaya itu, akhirnya saya tak kunjung kaya. Anehnya, saya sering dikira orang kaya. Bangga dong, kere kok dikira kaya. Dan tentu saja terserah orang berasumsi bagaimana terhadap saya. Tapi yang mengesalkan adalah : banyak orang yang tak percaya kalau saya bukan orang berduit, dan yang lebih parah mereka malah ingin berhutang. Lha padahal saya saja masih punya tunggakan hutang ke pegadaian. Hari ini, saya dikabari ada seorang teman jaman sekolah dulu yang sakit keras dan dihimbau untuk mengirim sumbangan. Mati! Kata saya

Angka dalam Sebutir Telur

Image
Ini kisah mahasiswa di jaman Orba, jaman pekak, kata teman saya. Waktu itu, dekat tempat tinggal saya adalah sederet kost-kostan mahasiswa. Otomatis, sebagian jadi kenal dan berteman. Sebagian besar dari mereka kebetulan datang dari keluarga yang pas-pasan. Jadi utang-piutang menjadi bagian kegiatan sehari-hari, lha timbang nggak makan, eh nggak ngerokok ding. Maaf ya, tahun 90-an rokok masih sangat happening dan cool lho. Begitu pula ganja ( whoopsy! ), musik rock, dan...SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), serta temannya yang berjudul Porkas - haduh yang ini saya tak tahu singkatannya, yang pasti kupon untuk sumbangan acara/ kegiatan olahraga gitu.  Teman-teman saya ini,  disaat sudah putus asa, sering nekad mengumpulkan recehan buat beli 'buntut' alias undian SDSB atau porkas tadi. Pasang angka, lumayan katanya kalau tebakan  benar dua atau tiga angka dibelakang saja bisa dapat puluhan atau bahkan ratusan ribu. Lha, secara dulu kost saja dua puluh lima ribu sudah oka