Posts

Showing posts from January, 2012

masalah vertikal

Image
Bulan lalu saya didatangi bu RT. Wah deg-degan juga secara sebagai pendatang baru saya belum   sowan ke rumahnya. Beberapa bulan yang lalu saya cuma menyerahkan fotokopi KTP kepada anak buahnya sambil bayar iuran bulanan. Saya memang pemalu dalam banyak arti. Dan nggak suka sok akrab, jadi saya merasa nggak perlu-perlu amat main ke rumah bapak dan ibu RT sambil membawa camilan dan ber-haha hihi. Pokoknya selama saya tidak membuat keributan, tidak melakukan pekerjaan terlarang, sudah seharusnya mereka dengan bangga menerima saya sebagai warga baru di perumahan ini. Apalagi saya kan bukan kaki tangan teroris.  Eh, ternyata, sambil tersenyum ramah bu RT malah mau memberikan undangan arisan. Setelah sedikit basa-basi (maaf ya bu, saya tidak banyak bicara karena belum sikat gigi), bu RT pun pamitan. Saya tersenyum seramah mungkin seraya mengantar beliau keluar halaman. Tapi, baru lega sedikit beliau berbalik, kali ini wajahnya serius. Saya terpaku di tempat. Lalu, dengan setengah berbis

"Kamu sekarang gemuk atau kurus?"

Image
Itu pertanyaan yang sering dilontarkan teman lama yang sudah lebih dari enam bulan tak ketemu. Atau : "Sekarang berapa (kilo) berat badanmu?"... Saya kurang mengerti, kenapa pertanyaan itu menjadi salah satu pertanyaan utama teman-teman lama tadi. Mungkin memang itu pertanyaan semua orang saat membayangkan teman lamanya yang sudah lama tak bersua, serta diduga telah berubah bentuk. Rata-rata, konon, semakin bertambah waktu kebanyakan jadi bertambah berat badan. Masalahnya, saya nyaris tak pernah menanyakan 'kamu gemuk atau kurus', atau 'berat badanmu berapa kilo?' tadi. Sepele saja, bagi saya berat dan ukuran badan itu sensitif. Saya pernah mengalami berbagai ukuran, dari no 2 hingga 12. Sekarang saya tak begitu tahu pasti berapa ukuran baju saya. Pokoknya ya masih cukup saja yang lama-lama. Di saat berat saya memuncak sekian tahun silam, anehnya saya malah merasa langsing. Saya baru sadar kalau perut saya 'menggelebah' bak gajah setelah melihat fot

sikil pithik

Image
Saya pernah membaca, konon tak semua orang bisa menggemuk atau mengurus secara merata dalam waktu bersamaan.  Artinya begini, ada orang yang gemuk di perutnya duluan, atau lengannya duluan, atau pipinya duluan dan seterusnya. Lalu, konon, bagian terakhir yang menggemuk adalah bagian yang paling bertahan langsingnya.   Nah, ternyata saya termasuk orang yang begini. Kalau tambah berat badan pasti tidak langsung menyebar, biasanya akan nyangkut di perut, lalu pipi, lalu lengan, lalu paha, lalu punggung, dan setelah semuanya menggemuk, kaki (betis) saya tetap saja kurus.  Dan pemerataan lemak yang tak merata itu kadang bikin saya nggak pede pakai rok mini. Padahal koleksi rok mini saya ternyata cukup banyak, dan saya masih belum nyaman pakai kain jarik naik ojek, takut kesrimpet atau malah ujung kain masuk ke roda...wah bisa repot beneran.  http://cdn.bleacherreport.com/images_root/image_pictures/0030/9527/i-love-chicken-legs_crop_340x234.jpg Meski banyak teman yang mengatakan

I want to ride my bicycle

Image
Itu judul lagu milik Queen. Dan bukan lagu favorit saya. Lagu Queen yang paling saya suka adalah "Fat Bottomed Girls", karena sedikit banyak mengingatkan bokong saya di masa lalu. Bicycle alias sepeda belakangan kembali naik daun setelah ada trend para eksekutif bersepeda ke kantor, dalam rangka mengurangi polusi dan memperbesar betis.  Kendaraan roda dua yang pertama kali diperkenalkan di abad ke-19 itu, adalah kendaraan andalan saya dalam banyak arti dan dimensi. Sepeda satu-satunya kendaraan yang saya miliki, sekaligus bisa saya kendarai sejak kecil. Saya masih ingat pertama kali pula sepeda di kelas 3 atau 4 SD. Butuh waktu sekitar seminggu sampai bisa benar-benar melaju di jalanan, tentu saja itu telah melewati tahapan terjatuh, menabrak gapura, kecebur selokan sampai nyelonong ke sawah plus masuk ke bak sampah.  Saya tak pernah menduga kalau sekarang saya kembali 'pit-pitan' alias sepedaan. Dan ketika saudara, sahabat dan kerabat tahu saya tak memili

RESESIONISTA - part 1

Image
Waktu kecil saya sering ditanya : pilih pinter atau kaya? Dan saya selalu menjawab : pinter. Soalnya waktu itu saya berpikir kalau pinter bisa jadi kaya atau minimal ngakalin orang kaya, tapi kalau kaya belum tentu bisa pinter – meskipun belakangan muncul pemikiran : hmmm kalau kaya bisa sewa orang pinter buat ngakalin orang. Itu pula sebabnya saya tidak pernah nge-fan sama paman Gober, atau Donald Trump. Bisa jadi lantaran ‘stigma’ gila yang saya percaya itu, akhirnya saya tak kunjung kaya. Anehnya, saya sering dikira orang kaya. Bangga dong, kere kok dikira kaya. Dan tentu saja terserah orang berasumsi bagaimana terhadap saya. Tapi yang mengesalkan adalah : banyak orang yang tak percaya kalau saya bukan orang berduit, dan yang lebih parah mereka malah ingin berhutang. Lha padahal saya saja masih punya tunggakan hutang ke pegadaian. Hari ini, saya dikabari ada seorang teman jaman sekolah dulu yang sakit keras dan dihimbau untuk mengirim sumbangan. Mati! Kata saya

Angka dalam Sebutir Telur

Image
Ini kisah mahasiswa di jaman Orba, jaman pekak, kata teman saya. Waktu itu, dekat tempat tinggal saya adalah sederet kost-kostan mahasiswa. Otomatis, sebagian jadi kenal dan berteman. Sebagian besar dari mereka kebetulan datang dari keluarga yang pas-pasan. Jadi utang-piutang menjadi bagian kegiatan sehari-hari, lha timbang nggak makan, eh nggak ngerokok ding. Maaf ya, tahun 90-an rokok masih sangat happening dan cool lho. Begitu pula ganja ( whoopsy! ), musik rock, dan...SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), serta temannya yang berjudul Porkas - haduh yang ini saya tak tahu singkatannya, yang pasti kupon untuk sumbangan acara/ kegiatan olahraga gitu.  Teman-teman saya ini,  disaat sudah putus asa, sering nekad mengumpulkan recehan buat beli 'buntut' alias undian SDSB atau porkas tadi. Pasang angka, lumayan katanya kalau tebakan  benar dua atau tiga angka dibelakang saja bisa dapat puluhan atau bahkan ratusan ribu. Lha, secara dulu kost saja dua puluh lima ribu sudah oka

Eh Mbak, eh Mas, eh Omm...

Image
Tadi siang saya mengantri di sebuah bank. Begitu memasuki pintu, pak Satpam yang sudah agak menua dengan sopan berkata, "Antrinya masih panjang lho kalau mau urus PIN." Saya mengangguk sambil bilang 'nggak apa-apa'.  Dan ternyata informasi itu bukan basa-basi. Bukan hanya jumlah pengantri yang banyak, tapi petugas pada desk yang bersangkutan juga masih nyangkut di tempat lain. Akhirnya sambil duduk saya chatting saja sambil sekali-kali lirik-lirik kiri kanan. Beberapa belas menit kemudian, muncul seorang ibu-ibu berbadan tambun dengan rok batik warna merah menyala, begitu duduk lantas muncul pegawai bank yang membawanya ke ruangan khusus. Jelas bukan untuk keperluan interogasi. Saya lantas membayangkan mungkin dia akan bertemu orang-orang kayak Melinda Dee, yang menawarkan aneka ria jenis deposito. Saya sendiri belum pernah menjadi nasabah VIP, lha wong tabungan saya saja tingkat Simpedes. Lamunan saya terbuyarkan ketika sesosok tinggi besar memasuki ruangan. 

Keputihan!

Image
"Keputihan" adalah satu kata dengan banyak arti. Dan sialnya lebih banyak bersinggungan dengan kaum Hawa. Dengan kata lain, kata "keputihan" sudah pasti akrab dengan saya, dari keputihan penyakit hingga keputihan saat mengecat tembok. Tapi "keputihan" yang belakangan mengusik benak saya beda lagi. Kali ini soal pemerataan warna kulit.  Coba saja jalan ke mini market, super market atau mall, ada begitu banyak yang menawarkan produk pemutih kulit. Belum lagi yang jualan lewat facebook. Rata-rata memberi janji dan klaim yang serupa : putih dalam waktu sekian minggu. Apa iya? Lha terus kenapa kalau putih? Lalu, apa benar lebih putih = lebih cantik? Saya kok meragukan pendapat prematur dan asal tuduh yang satu ini. Bukan karena saya terlahir berkulit cukup gelap, bahkan dulu Nenek saya menyebut saya 'nonah Ambon' karena dianggap jeliteng , dan memang beliau tak punya referensi mengenai Black people , padahal jelas kala itu alm. Jacko juga masih hitam

"Kamu pake BB?"

Image
Itu pertanyaan yang beberapa kali terlontar dari teman-teman saya. Dan seperti biasa saya menjawabnya dengan jawaban yang asal serta sok lucu, "Nggak, saya pake be-ha."  Dalam beberapa bulan terakhir saya juga sering mendapat kiriman nomor PIN, sembari menanyakan PIN saya. Awalnya, jujur saja saya bingung... sembari dalam hati mikir, "Kok minta PIN, maksud apa ya? Apa PIN ATM...lha wong cuma itu saja yang saya punya." Saya mencoba berpikir ulang, seingat saya kartu perpustakaan saya sudah 3 tahun mampus, dan saya sama sekali tak ingat apakah perlu PIN untuk pinjam buku perpustkaan. Setelah kiriman 4 PIN berikutnya, saya baru ngeh kalau yang dimaksud adalah PIN BlackBerry. Sungguh mati, saya tak pernah punya BB. Dulu di kala BB masih belum sepopuler sekarang, jumlah pemakai yang saya kenal tak lebih dari 5 orang, saya memang pernah kepincut. Tapi karena terjadi kebangkrutan lokal, boro-boro mikir beli BB, beli pulsa saja saya sering sampai mencari sisa-sisa rec

Selamat Tahun Baru!

Image
Selamat tahun baru teman-teman! Sudah telat 7 hari.   2011 sudah berlalu. Klise rasanya mengatakan "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali."  Toh tahun sebenarnya adalah pengulangan yang klise, 365 hari, 12 bulan, dst. Yang berbeda adalah 'content' nya. Kisah-kisahnya.  2011 adalah tahun yang tanpa saya sadari cukup dramatik dan tematik bagi saya, ini adalah tahun 'relationship'. Saya telah menjadi saksi hidup mereka yang berpisah, bertemu, melepaskan hingga melegalkan hubungan. Entah ada berapa orang yang saya kenal menikah di tahun ini,  sebagian lainnya bertemu orang baru dan  sebagian lainnya berpisah - termasuk saya sendiri. Pertemuan, pernikahan, perpisahan ini sebagian besar mengejutkan, termasuk perpisahan saya sendiri - yang meski sudah saya ramalkan sejak jauh-jauh hari, tapi tetap saja mengejutkan lahir dan batin saat itu terjadi.  (photo : /images.nationalgeographic.com/) Berbulan-bulan dan entah berapa puluh gulung tisu kemudia