Angka dalam Sebutir Telur

Ini kisah mahasiswa di jaman Orba, jaman pekak, kata teman saya. Waktu itu, dekat tempat tinggal saya adalah sederet kost-kostan mahasiswa. Otomatis, sebagian jadi kenal dan berteman. Sebagian besar dari mereka kebetulan datang dari keluarga yang pas-pasan. Jadi utang-piutang menjadi bagian kegiatan sehari-hari, lha timbang nggak makan, eh nggak ngerokok ding. Maaf ya, tahun 90-an rokok masih sangat happening dan cool lho. Begitu pula ganja (whoopsy!), musik rock, dan...SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), serta temannya yang berjudul Porkas - haduh yang ini saya tak tahu singkatannya, yang pasti kupon untuk sumbangan acara/ kegiatan olahraga gitu. 


Teman-teman saya ini,  disaat sudah putus asa, sering nekad mengumpulkan recehan buat beli 'buntut' alias undian SDSB atau porkas tadi. Pasang angka, lumayan katanya kalau tebakan  benar dua atau tiga angka dibelakang saja bisa dapat puluhan atau bahkan ratusan ribu. Lha, secara dulu kost saja dua puluh lima ribu sudah okay banget, jumlah tadi jelas menggiurkan. 


Dan begitulah, setiap minggu mereka ramai-ramai pasang buntut. Sialnya jarang ada yang nyangkut. Sampai akhirnya satu kali, teman saya yang bernama Udin sukses meraih 60 ribu perak.  Itu adalah sebuah prestasi yang sudah lama dinanti-nanti selurut buntuter. Kemenangan 60 ribu  benar-benar menggelitik semua teman yang utangnya sudah tersebar di segala penjuru kampus dan area kost. Bayangkan, bahkan ada yang sudah di-banned makan di kantin karena lima bulan menunggak bayar bakwan. Si Marto bahkan terpaksa memacari anak ibu kost yang konon burket (bubur ketek)-nya tumpah ruah gila-gilaan, demi penundaan tagihan kostnya. Bahkan Tonny terpaksa memutuskan untuk mengambil side job sebagai kernet angkot. 


60 ribu tadi jadi bench mark yang menggoda iman dan dompet. Tak lama, sekitar dua minggu kemudian Udin kembali muncul membawa berita panas : ia bertemu orang 'pintar' yang bisa membuat mereka kaya via buntut. "Pokoknya, katanya pasti gol. Bukan cuma 2 -3 angka tapi bisa 5 angka!"
Marto dan Tonny manggut-manggut. Marto yang sudah lama tak tahan dengan bau ketek anak ibu kost, tanpa berpikir langsung bilang 'ok'.  Tonny yang sedikit lebih pintar lantas mengajukan pertanyaan : "Lha syaratnya apa?"
Udin meringis. "Gampang. Kita disuruh cari telor yang mbrojol dari ayam cemani."
"Ayam cemani itu apa?," tanya Marto yang memang tidak mengenal species unggas-unggasan.
"Itu ayam yang bulunya hitam pekat merata. Piye, kita jalan apa ndak?"
"Yo wis, siapa tahu bisa menang 500 ribu ya." (Di jaman Orba 500 ribu kan sesuatu banget, secara di kala itu dolar Amerika masih 2000 - 2500 rupiah / dolarnya.)


Keesokan sorenya mereka sepakat mencari dimanakah gerangan ayam cemani berada. Seluruh kampung disisir, tapi yang ada cuma pitik walik jambul. Di hari ke - 3, Tonny sudah mulai putus asa. "Masak 3 kampung tak ada seekor ayam cemani pun... mending ngenek, minimal bisa cuci mata kalau ada penumpang cakep," begitu katanya dalam hati. Namun Marto yang benar-benar mulai kepepet burket, tetap berjuang mati-matian. Dua hari kemudian ia berhasil menemukan dimana lokasi ayam cemani yang bertelur berada. 


Malamnya, berangkatlah trio ini ke lokasi pemilik ayam cemani. Udin terpaksa mengeluarkan modal buat menebus telor ayam ajaib tadi. 2000 rupiah. Mahal banget buat sebutir telor ayam di tahun 90-an awal. Tapi timbang diteriaki pencuri telur oleh sang pemilik, seorang nenek-nenek yang masih lincah dan konon bisa silat pula. Si nenek awalnya tak mau melepas telurnya dengan harga berapapun. Untung Tonny pandai membuat alasan : buat ngobatin kakeknya yang sekarat - padahal kakek Tonny di Jawa Timur sudah lama meninggal. Tapi ya sudahlah diterima saja, mereka toh harus bikin alasan demi pelepasan telur. 






Setelah menyerahkan uang 2000 itu dengan berat hati, telur pun diserahterimakan. Sebelum berlalu, sang nenek sempat mencolek lengan Tonny sambil berpesan kalau kakeknya sembuh ia minta dikenalkan. Tonny mengganguk-angguk saja sambil mengambil langkah seribu, sebelum nenek tadi minta yang lebih aneh lagi.


Mereka lantas menuju rumah 'orang pintar' di selatan Yogya. Sesampai disana, orang pintar itu cuma bilang begini : "Kalian bawa telur tadi ke sebuah makam di kawasan X. Ciri-ciri makamnya sebagai berikut. Nanti pas jam 4 subuh, bungkus telur pakai kain putih, lalu bawa pulang. Sampai di rumah coba terawang telur tadi pakai lampu, disitu akan muncul angka. Nah,  angka itu yang kalian pasang besok." 
Mereka bertiga manggut-manggut. Sambil mengucapkan terimakasih berkali-kali, bukan hanya karena infonya tapi juga karena bapak tadi tak meminta bayaran. 


Selanjutnya mereka mencari lokasi makam yang diminta. Dan untungnya ketemu, padahal sudah menjelang midnite. Bertiga mereka memberanikan diri untuk tidur diantara nisan, jangkrik, katak. burung hantu dan binatang malam lainnya. Untung Udin yang kecilnya sering menemani kakeknya yang juru kunci berjurit malam di makam, tidak gentar sedetikpun. Beda dengan Marto dan Tonny yang nyalinya sekecil ikan teri dan kebanyakan nonton videoklip "Thriller" nya Michael Jackson,  akibatnya mereka mulai membayangkan akan muncul berbagai jenis penampakan  dari pocong, nenek kunti, genderuwo, wewe gombel, drakula, vampire, hingga babi ngepet. 


"Jadi kita harus tidur disini Din?" bisik Marto merepet.
"Gelem sugih opo ora?" hardik Udin kesal.
Marto dan Tonny berpandangan lalu mengangguk pelan.
Empat setengah jam terasa bak empat setengah hari bagi Marto dan Tonny. Mau merem kok takut ada yang iseng njawil, mau pipis kok takut ada yang nempel di pundak, mau ngobrol kok takut ada suara lain yang menjawab. Serba salah. 


Singkat cerita,  tampaknya tak ada makhluk halus yang tertarik menggoda ketiga makhluk gila buntut itu, dan jam 4 pun tiba.  Baru sadar kalau mereka tak bawa kain putih, eh selampe ingus Udin warnanya kuning luntur...itu termasuk putih nggak ya? Tak kehabisan ide, Tonny menyuruh Marto melepas kaos singlet bulukannya yang berwarna putih sengak sememplak. Ya, apa boleh buat daripada nanti ritual tidak sukses. Dengan sedikit kesal Marto merelakan singlet kesayangannya yang sudah bolong disana-sini itu untuk menyelimuti telur ajaib.


"Wis rapopo sing penting kan putih," ujar Udin singkat. "Ngko nek entuk tak ganti Mar! Mung singlet mambu wae kok owel." Setelah itu,  mereka segera mengucap syukur dan pulang. Sesampai di kost, selain buru-buru pipis, mereka pun melaksanakan titah 'orang pintar' tadi : menerawang telor. Dan entah itu ilusi orang yang sedang ngarep dapat buntut atau beneran, mereka bertiga merasa bisa melihat angka-angka yang seolah ada di dalam telur. Dengan senyum sumringah, siang harinya mereka datang ke bandar dan memasang angka ajaib yang tadi mereka dapatkan.


"Aku utang sek yo Din," pinta Marto memelas. "Nanti diganti kalau sudah menang." Sementara Tonny membobol celengan tanah liatnya yang berbentuk ikan mujahir buat ikutan pasang. Konon, pengumuman angka yang akan keluar diberitahu 3 hari kemudian. Selama itu mereka tak bisa tidur nyenyak, Udin sudah membayangkan bisa beli mesin ketik, Marto membayangkan pindah kost yang anak ibu kostnya lebih kece dan wangi, sementara Tonny membayangkan mungkin ia bisa buka warungan rokok dekat kampus. 






Dan ajaib! tiga hari kemudian semua impian mereka terkabul, karena mereka benar-benar menang besar. Dengan jumawa Marto buru-buru melunasi tunggakan kamar kostnya dan pindah ke lokasi yang lebih elit. Sejak hari itu pula, Udin makin dipercaya sebagai master of buntut. Dan minggu-minggu selanjutnya banyak yang mau bergabung dengannya mencari peruntungan dalam sebutir telur. Tapi sial tak ada yang sukses. Ada saja yang menghalangi, dari kehujanan saat di kuburan, telur pecah di jalan, kadang terpaksa menunggu lamaaa sampai ayam cemani andalan yang hanya satu-satunya itu kawin dan bertelor. Malah, pernah suatu ketika mereka tak bisa pulang, karena begitu keluar dari lokasi makam mereka hanya berputar-putar di kompleks dekat makam - kabarnya ini sering terjadi pada orang-orang yang ibadahnya kurang, atau memiliki aura kelam. 


Marto yang sempat mengikuti jejak Udin dengan membuka cabang terawang angka dalam telur, malah bangkrut dan kembali ke kost lamanya, karena kost baru tak menerima tunggakan. Mesin ketik andalan Udin juga terpaksa dilego di pegadaian. Untung warung rokok Tonny tetap berjalan, rupanya ia percaya kalau keberuntungan mereka malam itu hanyalah 'one hit wonder'. Sialnya, Tonny terpaksa mengutangi Udin dan Marto kali ini. Yah...balik (ngutang) maning

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca