once upon a time in jogja #1

Ini kisah sebelum jaman krismon, ketika harga karcis naik bus kota buat pelajar hanya 100 perak saja - itu kalau jarak dekat. Rada jauh 150, jauh 200. Ini seingat saya adalah harga standar di Jogja. Kurang tahu kalau di daerah lainnya. 


Kala itu yang namanya kejahatan di angkutan umum belum segila sekarang. Pelecehan seksual belum marak - meski jelas bukannya tak ada, paling banter ya copet (nanti kapan-kapan saya akan ceritakan pengalaman saya saat bertemu dengan jenis profesi ini),  atau kondektur yang galak, jadi naik angkot - terutama bus kota memiliki romantika tersendiri. 


Duduk atau berdiri sama saja. Dan itu bukan sekedar 'iklan layanan masyarakat' versi pemilik bus kota yang disablon di atas sticker murahan. Masalahnya, duduk dan berdiri toh sama bayarnya. Resikonya juga gak banyak beda. Berdiri gampang disundul kiri kanan depan belakang, resiko kecopetan saat senggolan itu jauh lebih besar. Belum termasuk aroma ketiak tetangga saat bergelantungan. Plus diteriaki kernet : "Yang di belakang maju ke depan! yang di depan mundur ke belakang!" Mungkin kernet-kernet galak ini pernah sekolah militer atau ikut perang ya. 


Tapi duduk juga resikonya tak kecil. Masalahnya, kadang kita tak bisa memilih siapa yang duduk di sebelah kita. Kalau sopan, matur nuwun. Tapi kalau ganjen atau sok akrab?  Malah, kadang yang sopan juga bisa bikin masalah, lha kalau bau, atau tidur-ngorok-ngiler dan nempel di pundak. Nightmare di siang hari banget. 


Tetep, naik bus kota adalah andalan mahasiswa. Terutama yang duitnya ngepas tapi kost-nya jauh. (ini anehnya, sudah duitnya pas-pasan tapi milih kost di lokasi nun jauh dan ajaib, dengan alasan yang kadang tak bisa dimengerti manusia normal, seperti : ibu kostnya janda kembang, atau anak ibu kostnya cakep-cakep, atau dekat sama warung sego kucing terenak, sampai rumahnya berhantu jadi murah banget...ck ck ck). 


Nah, berhubung saya kuliah di kampus seni rupa, yang murid-muridnya bukan cuma nyeleneh tapi juga gila dalam banyak arti, entah kenapa setelah lewat semester 3, hampir semua (pernah) mencoba kuliah pakai sandal jepit saja. Tentu saja ini privilege ciptaan sendiri yang tidak banyak dimiliki oleh kampus lain di Indonesia. Pakai sandal jepit, alasannya selain lebih down to earth, isis, dan tak perlu beli sepatu atau bakiak yang mulai langka. Meski tak jarang pecinta sandal jepit ini harus main petak umpet dengan dosen. Tapi selalu ada cara mengakali supaya tak ketahuan bersandal jepit ria, antara lain pakai saja celana panjang yang super panjang hingga tak kelihatan telapak kakinya. Beres. 




http://ww1.prweb.com/prfiles/2010/07/13/3342284/24Ryderchoconfoot.jpg


Karena terlalu menghayati memakai sandal jepit ini, ternyata akhirnya jadi masalah saat naik bus kota. Lha wong bayar cuma 100 perak, jelas tak jarang kondektur melototin penampilan dari atas ke bawah. Kalau pas ketemu kondektur baik ya selamat deh tidak dimintai tambahan. Pada suatu bus yang sepi, teman saya, G, suatu kali ditegur pak kondektur karena pakai sandal jepit kok cuma bayar 100. Tak mau kalah, G mengeluarkan kartu mahasiswanya. Tapi kondektur tetap bersikeras, mana ada mahasiswa sandal jepitan. G makin ngotot meminta sang kondektur membaca baik-baik kartunya. 


Namun sial, foto di kartunya tampak beda, lha wong saat itu G terlihat bak rocker kesasar, sementara di kartu ia lebih mirip resepsionis hotel. Karena sama-sama ngotot dan jadi tontonan drama satu babak, akhirnya pak sopir memutuskan untuk menurunkan G dengan setengah hormat di tengah jalan, yaitu dengan mengembalikan uang 100 peraknya. 


Pemberhentian tak terhormat ini rupanya menjadi pelajaran penting bagi pecinta sandal jepit lainnya. Apa boleh buat,  sekarang terpaksa mereka membawa sepatu cadangan, atau 
pakai kaos kaki dibalik sandal, setengah formal toh? dan tetep 100 perak. 

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca