RESESIONISTA - part 1


Waktu kecil saya sering ditanya : pilih pinter atau kaya? Dan saya
selalu menjawab : pinter. Soalnya waktu itu saya berpikir kalau pinter
bisa jadi kaya atau minimal ngakalin orang kaya, tapi kalau kaya belum
tentu bisa pinter – meskipun belakangan muncul pemikiran : hmmm kalau
kaya bisa sewa orang pinter buat ngakalin orang. Itu pula sebabnya
saya tidak pernah nge-fan sama paman Gober, atau Donald Trump.


Bisa jadi lantaran ‘stigma’ gila yang saya percaya itu, akhirnya saya
tak kunjung kaya. Anehnya, saya sering dikira orang kaya. Bangga dong,
kere kok dikira kaya. Dan tentu saja terserah orang berasumsi
bagaimana terhadap saya. Tapi yang mengesalkan adalah : banyak orang
yang tak percaya kalau saya bukan orang berduit, dan yang lebih parah
mereka malah ingin berhutang. Lha padahal saya saja masih punya
tunggakan hutang ke pegadaian.


Hari ini, saya dikabari ada seorang teman jaman sekolah dulu yang
sakit keras dan dihimbau untuk mengirim sumbangan. Mati! Kata saya
dalam hati. Ngaku nggak ya kalau nggak punya duit? Serba salah. Ngaku
apa adanya malah bisa-bisa dikira cuma cari-cari alasan. Lalu saya
telpon seorang teman, saya tanyakan bagaimana kalau saya tidak bisa
mentransfer sumbangan berupa uang karena memang kalau saya nyumbang
bisa-bisa saya nggak makan dua minggu lagi. Masalahnya kan kita tak
bisa begitu saja menjelaskan keadaan kita, isi dompet kita, bahkan
pekerjaan kita ke semua orang. Teman saya – yang ‘sialnya’ sesama
seniman gila memberi jawaban simple : “Kalau nggak punya duit ya nggak
usah nyumbang. Nyumbang itu kan masalah kerelaan, biar berduit kalau
nggak ikhlas ya nggak berkah.” Hmm, bener juga. Jawaban yang sangat
membuat lega sanubari dan perdompetan.






http://www.inkity.com/shirtdesigner/prints/clipArt1/CORB0817.JPG



Belakangan, entah kenapa, kemiskinan jadi topic yang cukup mewarnai
hidup saya. Jujur saja, kadang impian terliar saya adalah merampok
bank yang terkenal, terbesar dan tercurang, lalu hasilnya saya bagikan
ke orang-orang yang memerlukan. Tapi sudah pasti saya perlu berguru
pada Robin Hood dulu. Susyah deh.


Saya jadi teringat sekitar dua tahun lalu ada teman yang meminta saya
datang ke sebuah reuni penting. Waktu itu saya masih ngenger (nebeng
sekaligus setengah mengabdi) di kawasan Puncak, pada seorang sahabat
yang menampung saya dari ancaman menjadi gelandangan. Karena 
reuninya beda provinsi dalam segala arti, saya merasa tak akan bisa 
datang. Lalu jujur saja saya bilang : “Wah sori lagi nggak punya uang 
buat transport p-p jarak jauh.” Lalu, teman saya itu memberi reaksi yang
teramat sangat mengejutkan : “Lho kok bisa (nggak punya uang)?” 
Saya tertegun, terpana dan terpaku selama beberapa saat, sambil mikir, 
apa saya nggak salah dengar?

Tidak punya uang, rasanya adalah hal yang biasa bagi saya. 
Dan mungkin juga hal biasa bagi banyak orang yang hidup di muka bumi
ini. Beberapa menit kemudian, saya baru sadar kalau teman saya itu 
sepanjang hidup tak pernah tahu rasanya miskin dan harus bekerja, 
membanting badan, menjungkir balikkan otak, memeras selampe 
yang full keringat…lha wong sejak kecil dia diasuh oleh neneknya 
yang kaya,  terus begitu hampir kelar kuliah menikah tanpa 
sempat bekerja – dengan laki-laki yang lebih kaya lagi. 
Hmm, apa saya kedengarannya iri?


Bisa jadi. Ada masanya saya pernah mencoba jadi cewek matre biar
kayak teman saya yang satu itu. Saya dekatin salah satu mantan saya
yang katanya sudah sukses jadi bos dan kaya raya. Tanpa rasa, hanya
gara-gara pengen kecipratan rejeki, atau siapa tahu bisa diajak
jalan-jalan ke luar negri, dihujani hadiah-hadiah saban minggunya, 
dikasih credit card unlimited. Tapi untungnya dia menolak. Dan entah
kenapa, saya juga lega karena gagal jadi cewek
matre.


Tentu saja adalah kesalahan saya kenapa selalu berpasangan dengan pria
miskin. Ketika orang lain memimpikan kenyamanan bisa punya rumah
mewah, mobil tiga biji minimal, deposito di semua bank dan seterusnya,
saya hanya mencari kenyamanan cinta. (Lho, apa salahnya, cinta toh tak
bisa dinilai harganya?) Dan sialnya, cinta saya jatuh pada pria tak
berduit.


Hari ini, saya masih berpikir apa saya orang yang terlalu menghayati
resesi hingga jadi resesionista kayak gini? Atau saya terkena kutukan
lebih memilih jadi orang pinter tadi? Mungkin jawabannya ada pada
rumput yang bergoyang (norak, norak dah!).

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca