Posts

NORMAL itu...

Image
Apa itu normal? Jujur saja, saya tidak pernah tahu. Kita bicara 'kenormalan' fisik, pikiran atau kondisi lainnya? Nggak usah jadi kelewat kompleks. Belakangan, saya dengar-dengar kalau sebagian orang menganggap saya tidak normal. Jangan kawatir, saya sama sekali tidak tersingung. Bagaimana sayaa harus tersinggung, kalau alasan mereka menganggap saya tak normal, menurut saya cemen dan kuno, dan menunjukkan bahwa mereka juga tidak kenal saya. Ini alasannya: karena saya (tampak) selalu single dan tidak menikah. Saya pikir, tiap orang punya tujuan hidup sendiri-sendiri. Bahasa jaman now-nya: life goal. Dan barangkali memang saya tidak normal, karena life goal saya bukan 'menikah'. Saya hanya ingin bahagia, dan percayalah menjadi orang yang bahagia itu tak gampang. Entahlah, setidaknya begitu menurut saya. Tentu saja, ada masa-masa ketika saya ingin juga menikah. Tapi kalau seandainya itu dulu terjadi, sudah pasti saya sudah bercerai setidaknya tiga kali. Tentu saja, ada

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

Image
LIMA tahun silam, Rany Handayani   bermimpi ingin membuka galeri. Ia membayangkan sebuah galeri yang menggelar pameran yang tak biasa. Sesuatu yang tidak mainstream. Ia ingin seniwati, atau seniman-seniman lain yang selama ini kurang mendapat tempat untuk memamerkan karya bisa beraksi di situ. Sudah lama, Rany ‘bosan’ dengan pameran   seni rupa yang didominasi karya laki-laki.   Ide “women lead” tercetus dari keinginan ini. Sebuah pameran yang didominasi, bahkan sepenuhnya oleh perempuan pelukis. “Ini sebuah visi kecil,” jelas Rany, yang tak lain pemilik Iris Gallery – sebuah impian yang akhirnya sudah menjadi kenyataan sejak lima tahun lalu. “Saya membayangkan sebuah dunia yang dipimpin perempuan. Selain juga barangkali, sedikit refleksi ke masa depan, seperti misalnya kemungkinan Hillary Clinton akan memenangi kursi presiden Amerika Serikat.”   Rupanya Rani juga punya semangat feminis, ia ingin perempuan setidaknya bisa sejajar dengan laki-laki.   “Selama ini kan perempuan diangga

Parfum, Aroma & Memori

Image
Saya pernah dengar kalau hasil akhir sebuah aroma parfum yang disemprotkan ke badan seseorang, bisa berbeda baunya saat disemprotkan ke tubuh orang lain. Konon, ini lantaran setiap manusia memproduksi zat kimiawi yang berbeda, termasuk bebauan keringat dan cairan lainnya. Saya jadi ingat teman salah satu sahabat saya, yang rambut dan tubuhnya aroma-proof, alias begitu habis mandi, wangi sabun akan menguap dan kembali ke aroma asli tubuhnya yang – maaf – sedikit langu . Dan, tak peduli dia pakai parfum paling wangi sekalipun, bau badan aslinya tetap tak terkalahkan. Ini, barangkali salah satu contoh ekstrim mengenai hal di atas. Sekaligus ‘legalitas’ kenapa kita kadang begitu membutuhkan parfum. ‘Parkum’, begitu seorang teman lama yang entah kenapa tak pernah bisa menyebut ‘parfum’ dengan benar. Nah, teman saya yang satu ini, sebenarnya aromanya jauh dari langu , cuma kadang burketnya kelewatan. Wajar kalau dia lantas koleksi parkum, eh parfum, sampai akhirnya s

SENEN

Tubuh kurus renta Senen terbujur kaku di rumahnya – itu kalau bisa disebut rumah, sebuah gubug reyot yang dinding dan atapnya bolong di sana-sini, ukurannya juga tak lebih dari sebuah dapur kecil. Koes berjalan dengan langkah ragu memasuki gubug itu, sontak ia menutup hidung dengan sebelah tangannya. Bau mayat Senen, dan entah bau apa lainnya menyatu menimbulkan aroma yang jauh dari wangi. Di atas amben bambu lapuknya, Senen tampak lebih tua dari yang biasa ia ingat. Rambut nya lebih banyak putihnya. Kulitnya lebih banyak kerutnya. Tubuhnya tampak lebih ringkih dan kurus. Mulutnya sedikit menganga, memperlihatkan sebagian giginya yang sudah hilang. Koes menatap mayat Senen dengan nanar, dan sedih sekaligus. Ia mencoba memalingkan mata, tapi seolah wajah kaku Senen mengundangnya untuk melihatnya buat terakhir kali. Sekali lagi, ia lalu menatap Senen, ah matanya belum menutup sempurna. Dengan gemetar Koes mengulurkan tangannya, agak ragu, sedikit risih, namun ia memberanikan diri

Kamis

Kamis. Dulu, ia benci hari Kamis, entah untuk alasan apa. Ia selalu merasa Kamis bukan Senin yang penuh semangat, Rabu yang padat atau Jumat yang kadang berlalu begitu cepat.  Namun belakangan, ia baru sadar Kamis telah mempertemukannya dengan salah satu orang terbaik dalam hidupnya. Lalu, sekarang ia sibuk berhitung, sudah berapa Kamis yang ia lalui sejak hari ‘Kamis itu’.

Maaf, Saya Memang Jadul.

Saya pikir, ini tadinya adalah masalah kuna, tapi belakangan...ketika untuk sekian ratus kalinya ada teman yang menanyakan pin BB, akhirnya saya mengambil kesimpulan dini kalau ini telah menjadi sebuah masalah klasik. Yang sialnya, barangkali tidak akan berubah status, kecuali mendadak saya menggunakan smart phone, atau BB, atau android, atau gadget untuk komunikasi lain yang jauh lebih canggih ketimbang yang saya pakai sekarang.  Terus terang, awalnya saya sempat merasa agak terganggu dengan segala macam pertanyaan inosen seperti menanyakan no PIN BB tadi, lalu belakangan banyak yang menanyakan apa saya bisa ber-whatapps-an, lalu 'instagram', lalu 'line', lalu 'path'... entah besok apa lagi. Tentu saja, hampir semua orang tak percaya kalau saya tak pernah punya hape canggih...dan itu hak mereka.  Jangan salah, tak berarti pada masanya saya tak tergoda beli gadget-gadget komunikasi tadi. Bahkan suatu kali, di saat kere, saya merasa dengan sekedar browsing to

Masalah Mantan part 2

 Brewok agak terkejut, tapi tak lama. Habis itu seperti biasa, dia cengengesan.   "Apa  salahnya temenan ama mantan?" malah dia balik bertanya. "Ya emang nggak ada." "Tuh kan. Malah kadang banyak gunanya temenan sama mantan. Kalau mantan kita dewasa, bisa jadi temen curhat yang menyenangkan." "Gue nggak setuju," mendadak terdengar suara asing yang tak asing : suara Irul, teman lama lain yang kebetulan pernah bercita-cita jadi vokalis band cadas tapi gagal lantaran suaranya terlalu melow-drama.  Dengan muka lempeng Irul melanjutkan : "Temenan sama mantan bisa bikin petaka." "Masak sih?" sambar Brewok sambil menyomot tiga bakwan sekaligus. Maruk memang dia.  "Serius," Irul duduk sambil selonjoran, memamerkan sepatu kulit manggisnya yang sudah mulai luntur.  "Ada teman gue yang temenan sama mantannya, malah lantas diteror sama pasangan mantannya itu."  "Lha kok bisa?" tanya S lugu. "