hidup ini adalah pilihan?

Saya sudah menyerah pada banyak hal, antara lain:


 * Saya tidak lagi pasang antena TV - dan tidak nonton TV membuat saya bisa tidur siang, baca buku hingga membantu mengejar ayam tetangga, dan yang terpenting tidak merasa ter-attach : wah jam 21 ada CSI nih, jam 19 ada American Idol nih, belum lagi sederetan acara infotainment yang bisa bikin pusing kepala, plus tak perlu marah-marah kalau salah mencet channel nemu sinetron yang mengisahkan anak hilang ketemu ibu angkat berupa wewe gombel. 


* Saya tidak lagi merokok. Karena saya bosan keseringan ke dokter gigi, ngebersihin karang yang menempel. Plus harga rokok makin mahal, dan baunya nempel di rambut saya yang wangi.


* Tidak tidur terlalu larut, meski kadang kalau sudah ngobrol sama sahabat tahu-tahu sudah jam 4. Lha gimana nggak kebablasan, wong jam murah telpon adalah 00:00 - 06:00 WIB. 


* Tidak lagi memacari pria langsing gondrong yang tidak gentleman itu. (sori yang ini memang nyindir, siapa tahu doi baca) 


Katanya hidup kan pilihan. Seperti saat kita memilih menu di restoran : mau es teh atau teh panas? kopi atau es krim? Hmm, bisa jadi tidak sesimpel itu. Dulu, mungkin sekitar 2 dekade yang lalu, atau lebih, ada buku ABG : Pilih sendiri petualanganmu. Isinya juga 'simpel' saja, misalnya kita diajak berpetualang ke sebuah gua, nah nanti ada clue mau kemana, kalau kita pilih jalan A maka mungkin akan ketemu naga, kalau pilih jalan B ketemu singa dan seterusnya. Dulu, saya sering salah pilih, dan endingnya kejebur ke laut. Lalu apa (pilihan) hidup seperti itu? Entahlah. Bisa jadi.






http://bestpicturepodcast.com/wp-content/uploads/2011/11/Terms.jpg


Saya jadi teringat,  ada sebuah film berjudul "Terms of Endearment" (1983). Saya menontonnya setelah dewasa. Sebuah film yang bagus, meski rada mendayu-dayu dan bikin sapu tangan basah penuh air mata. Menceritakan seorang anak perempuan (Emma) dari seorang janda kaya (Aurora) yang memilih menikah muda dengan seorang pria loser - yang belakangan juga menyelingkuhinya saat sakit. Di sekitar dua pertiga atau tiga perempat film, Emma yang lantas beranak pinak, miskin dan nelangsa mengaku kalau menikah adalah pilihan. Bukan jadi eksekutif, atau kuliah S3 (yang ini saya ngarang). Sayang, pilihannya itu kurang tepat karena ia menikah dengan seorang asshole. 


Film "Run Lola Run" atau "Sliding Doors" lebih jelas lagi. Lola diberi 3 pilihan dalam 20 menit : merampok, mati atau hidup. Helen di "Sliding Doors" diberi 2 pilihan di 2 kehidupan : terus bersama kekasihnya yang tidak setia, atau putus dan pacaran dengan orang lain. 


Seandainya saja hidup begitu jelas dan gamblangnya memberi pilihan-pilihan seperti dalam film-film itu, alangkah lebih mudahnya. Tapi masalahnya, Tuhan tidak pernah me-reveal naskahnya untuk kita. Kita tidak pernah tahu siapa saja orang yang akan hadir sebagai peran pembantu, atau bintang tamu atau sekedar figuran buat episode hidup kita yang selanjutnya.  Sialnya lagi,  kadang pilihan yang 'diturunkan dari langit'  juga tak kita mengerti. 


Lalu, apa dong pilihannya? Go with flow? Cut and edit? Fight the fate? Entahlah. Pilihan mempengaruhi takdir, atau takdir mempengaruhi pilihan? Saya, Anda, kita tampaknya tak (akan) pernah tahu.  Tapi saya teringat kalimat ini : "Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi, kalau belum mencoba (pilihan kita)."


(buat sahabat saya yang lagi bingung di Ciledug)





Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca