masalah vertikal

Bulan lalu saya didatangi bu RT. Wah deg-degan juga secara sebagai pendatang baru saya belum sowan ke rumahnya. Beberapa bulan yang lalu saya cuma menyerahkan fotokopi KTP kepada anak buahnya sambil bayar iuran bulanan. Saya memang pemalu dalam banyak arti. Dan nggak suka sok akrab, jadi saya merasa nggak perlu-perlu amat main ke rumah bapak dan ibu RT sambil membawa camilan dan ber-haha hihi. Pokoknya selama saya tidak membuat keributan, tidak melakukan pekerjaan terlarang, sudah seharusnya mereka dengan bangga menerima saya sebagai warga baru di perumahan ini. Apalagi saya kan bukan kaki tangan teroris. 


Eh, ternyata, sambil tersenyum ramah bu RT malah mau memberikan undangan arisan. Setelah sedikit basa-basi (maaf ya bu, saya tidak banyak bicara karena belum sikat gigi), bu RT pun pamitan. Saya tersenyum seramah mungkin seraya mengantar beliau keluar halaman. Tapi, baru lega sedikit beliau berbalik, kali ini wajahnya serius. Saya terpaku di tempat. Lalu, dengan setengah berbisik beliau menanyakan agama saya. Wah, nggak enak juga, lha masak saya jawab : "Apa ibu nggak baca yang tertera di fotokopi KTP saya?" Ya, ndak sopan dong. 


Melihat saya ragu menjawab, bu RT melanjutkan begini, "Biar kalau ada acara keagamaan bisa diundang mbak." Sambil cecengesan, saya jawab : "Maaf bu, saya ikut Kejawen." Diluar dugaan bu RT yang baik hati itu mengangguk penuh pengertian. Meski mungkin dalam hatinya beliau berpikir, "Dasar cah gemblung." Saya memberikan jawaban ini karena terus terang saya malas datang ke acara-acara keagamaan. 


Buat bu RT yang baik hati dan teman-teman semua, mohon maaf kalau bagi saya agama itu 'straight to Heaven', alias langsung saja vertikal kepada Tuhan. Dalam keluarga saya kebetulan ada banyak etnis yang bergabung dan otomatis agamanya pun beragam. Saya melihat semua agama itu baik, meski faktanya agama sering jadi alasan buat bermusuhan atau tak suka satu sama lain. Bahkan India dan Pakistan berpisah gara-gara agama yang berbeda.  Tak usah jauh-jauh, ada kenalan saya yang anaknya mulai menginjak ABG dan ia mulai was-was kalau-kalau anaknya itu nanti jatuh cinta pada remaja lain yang beda agama. Wah benar-benar kejauhan mikirnya deh. Takut amat sama perbedaan. 


http://nengineulutcu.files.wordpress.com/2010/06/sky-flower.jpg




Eh iya, dulu saat SMP saya disebelin sama guru agama di sekolah, karena sering ketiduran saat beliau mengajar. Apa boleh buat,  lha pelajaran agama yang mendayu-dayu kok ditaruh setelah pelajaran olahraga yang saya sukai dan selalu saya praktekkan dengan sepenuh hati dan energi.... ya sudah pasti saya ngantuk, apalagi kalau habis itu keroncongan akibat belum jajan karena sangu saya yang cekak. Baru menjelang lulus, pak guru ini berdamai dengan saya. Sepele saja sebabnya, saat test saya ternyata  dianggap memberikan sebuah jawaban yang menurut beliau cespleng. Pertanyaannya begini : "Apa yang kamu lakukan untuk menghindari perselisihan dengan teman yang beda agama?" Jawaban saya sendiri, menurut saya tak ada hebat-hebatnya : "Saya tidak suka membahas agama saya, atau membandingkannya dengan agama teman lainnya." 


Jawaban yang saya berikan ya jujur-jujur saja. Soal agama dari dulu, saya yakin adalah masalah vertikal bukan horizontal, dan agama apapun atau aliran apapun selama tidak menganggu ya monggo-monggo saja. Saya percaya tiap orang punya hak memilih kepercayaan mereka.  Ngapain dimasalahkan. Termasuk salah seorang rekan teman lama saya yang memilih agamanya adalah musik. 


Sebut saja Mas Z, yang saat memperpanjang KTP-nya merasa ada yang salah pada kolom agamanya. Maka, ia pun kembali ke kelurahan. Sesampai di sana, ia minta agar pada kolom agamanya ditulis 'Musik' saja. Tentu saja petugas pembuat KTP puyeng seketika. Dengan sabar lantas si Bapak menjelaskan kalau 'Musik' kan bukan salah satu jenis agama atau kepercayaan di Indonesia. Tapi Mas Z yang kebetulan memang seorang musisi sejati memberi jawaban begini : "Pak, coba pikirkan... saya ini hidup dengan musik. Bukan cuma bekerja, tapi makan, minum, mandi, buang air bahkan tidur pun saya mikirin musik. Apa bukan agama itu namanya?"  Pak petugas hanya mengangguk-angguk bingung, tapi tetap menolak mengganti isi pada kolom tersebut. 


Sayang, saya tak tahu bagaimana nasib kelanjutan KTP Mas Z tadi. Apa jangan-jangan ia malah bikin KTP sendiri, entahlah... Agama memang masalah sensitif dan seharusnya sangat pribadi. Tapi apapun itu, selama bukan aliran sesat, mbok ya biarin saja. Kan tanggungjawab masing-masing secara vertikal toh? Saya yakin Tuhan itu penuh pengertian dan full rasa humor. 

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca