Eh Mbak, eh Mas, eh Omm...

Tadi siang saya mengantri di sebuah bank. Begitu memasuki pintu, pak Satpam yang sudah agak menua dengan sopan berkata, "Antrinya masih panjang lho kalau mau urus PIN." Saya mengangguk sambil bilang 'nggak apa-apa'.  Dan ternyata informasi itu bukan basa-basi. Bukan hanya jumlah pengantri yang banyak, tapi petugas pada desk yang bersangkutan juga masih nyangkut di tempat lain.


Akhirnya sambil duduk saya chatting saja sambil sekali-kali lirik-lirik kiri kanan. Beberapa belas menit kemudian, muncul seorang ibu-ibu berbadan tambun dengan rok batik warna merah menyala, begitu duduk lantas muncul pegawai bank yang membawanya ke ruangan khusus. Jelas bukan untuk keperluan interogasi. Saya lantas membayangkan mungkin dia akan bertemu orang-orang kayak Melinda Dee, yang menawarkan aneka ria jenis deposito. Saya sendiri belum pernah menjadi nasabah VIP, lha wong tabungan saya saja tingkat Simpedes. Lamunan saya terbuyarkan ketika sesosok tinggi besar memasuki ruangan. 


Pandangan saya mengarah pada kepalanya. Rambutnya pendek dan keperakan menandakan kematangan. Jalannya gagah pula. Tapi begitu dia makin dekat, lho? Kok dadanya menonjol, dan pinggulnya lebih semok daripada kepunyaan saya. Waduh! Silep mata nih. Rasanya nggak mungkin seseorang yang berdada Salma Hayek dan berpantat J-Lo adalah pria. Meski, ya mungkin saja saya salah. 








Eh, saya lantas teringat beberapa tahun silam, saya pernah diajak oleh seorang teman menemaninya presentasi di sebuah advertising agency. Teman saya ini seorang fotografer yang mumpuni, tapi diluar urusan poto-potoan, dia tergolong ajaib. Kasarannya begini, sebagai fotografer dia punya IQ 125, tapi sebagai manusia normal IQnya rada berantakan. Cara pikir dan pandangnya suka berbanding terbalik dengan orang kebanyakan. Ya nggak apa-apa, unik kan? Tapi unik tak selalu menguntungkan.


Okay, jadi berangkatlah kami dengan dua teman lain ke agency tersebut. Konon akan ada proyek bikin iklan promo sebuah produk. Singkat cerita, mulailah kami meeting dengan tiga orang dari agency tersebut. Seorang mbak-mbak manis, seorang bapak-bapak setengah baya dan satu lagi temannya yang ternyata sang account executive (AE) produk yang bersangkutan. Dia lantas mulai menjelaskan brief pekerjaan yang harus dilakukan. Setelah selesai menjelaskan, si AE menanyakan apa ada pertanyaan. Semua terdiam, kecuali teman saya si Fotografer tadi. "Eh Mas, kalau boleh tanya ....bla bla bla."  Kami bertiga saling berpandangan. Tiap kali keluar kata 'Mas' dari mulut teman kami si Fotografer, kami bertiga berpandangan, dan atau pura-pura tak dengar sambil mengalihkan pandangan ke tempat lain, ke jendela, ke meja, ke bawah kursi, ke langit-langit... malah teman saya satunya pura-pura mencari recehan di tasnya.


Terus terang, kami bertiga juga tak tahu si AE tadi laki-laki atau perempuan, bentuk dan busananya memang macho, tapi kok dari kartu namanya menyebutkan nama yang sangat amat feminin ya? Lebih membingungkan lagi karena suaranya terdengar ambigu, bisa cowok bisa pula cewek. Ah tau ah!  Begitu kelar dan menuju parkiran, si O teman saya satunya langsung menegur Mr. Fotografer , "Gile lo, yang tadi itu kan cewek, lo panggil-panggil "Mas' lagi!" 
Tapi si Fotografer malah tanya balik, "Kok lo tahu?" Serempak kami bertiga menjawab, " Lha itu, dari kartu namanya!"
Dengan cuek teman saya, fotografer gila ini dengan nada cuek namun defensif (bayangkan sendiri dah) malah bilang begini,"Oh gue nggak baca... lagian salah sendiri cewek kok dandannya kayak gitu." 
Kami bertiga hanya berpandangan antara geli dan kesal, tapi juga maklum dan mahfum kalau mengingat IQnya yang kadang jumpalitan tak karuan. 


Seminggu kemudian kami dapat kabar kalau proyek itu gagal kami dapatkan. Saya tak tahu pasti apakah itu ada hubungannya dengan pemanggilan "Mas" tadi, atau bukan. Memang sih serba salah juga kalau berhadapan dengan orang yang berpenampilan androgyny,  kalau dipikir-pikir... mau panggil apa coba, Mas? Mbak? Omm? Tante? Jeng, atau malah Bung? 
Untung sebelum saya pusing sendiri, tiba-tiba terdengar panggilan di pengeras suara, "No 541 ke meja 2...No 541 ke meja 2." 
Wah itu kan nomor saya, buru-buru deh berdiri...sambil mikir, mungkin akan jadi netral dan gampang ya kalau dipanggil pake angka kayak gini saja...





Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca