WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

LIMA tahun silam, Rany Handayani  bermimpi ingin membuka galeri. Ia membayangkan sebuah galeri yang menggelar pameran yang tak biasa. Sesuatu yang tidak mainstream. Ia ingin seniwati, atau seniman-seniman lain yang selama ini kurang mendapat tempat untuk memamerkan karya bisa beraksi di situ. Sudah lama, Rany ‘bosan’ dengan pameran  seni rupa yang didominasi karya laki-laki.  Ide “women lead” tercetus dari keinginan ini. Sebuah pameran yang didominasi, bahkan sepenuhnya oleh perempuan pelukis.

“Ini sebuah visi kecil,” jelas Rany, yang tak lain pemilik Iris Gallery – sebuah impian yang akhirnya sudah menjadi kenyataan sejak lima tahun lalu. “Saya membayangkan sebuah dunia yang dipimpin perempuan. Selain juga barangkali, sedikit refleksi ke masa depan, seperti misalnya kemungkinan Hillary Clinton akan memenangi kursi presiden Amerika Serikat.”  Rupanya Rani juga punya semangat feminis, ia ingin perempuan setidaknya bisa sejajar dengan laki-laki.  “Selama ini kan perempuan dianggap di belakang laki-laki. Lebih sering dianggap pelengkap : dapur, sumur dan kasur.” Sebuah kiasan lokal, yang kurang lebih menggambarkan tempat perempuan tak lain hanya di dapur, bersih-bersih dan melayani di atas tempat tidur.

Selanjutnya, ia bersama tim kreatifnya : Amron-Paul Yuwono dan Athonk Sapto Raharjo mulai membuka undangan perempuan pelukis yang tertarik bergabung di pameran ini.  Ternyata tak semudah yang diduga, respon yang lambat membuat mereka berganti strategi : memburu pelukis dan karyanya langsung.  Tak lama. tiga belas pelukis pun tak lama terkumpul. Namun hanya sebelas yang akhirnya mengikuti pameran : Veronika D. Ambarwati, Sri L. Pujiastuti, Lois Nur Fathiarini, Niken Candriana, Ni Made Asri, Iris Daniellesa, Karina Midiawati, Tanti Cora, Loli Rusman, Lelyana Kurniawati, plus Irina Spakova , satu pelukis asal Latvia.


Sekitar dua setengah bulan kemudian, “WOMEN LEAD” pun dibuka. Kartika Affandi, putri sang Maestro dan sineas Nia Dinata membuka pameran ini  22 Agustus silam. Kartika, yang juga maestro dan pelukis senior hanya memberi pesan singkat tapi menohok kepada para penerusnya, “Perempuan kalau jadi pelukis jangan cengeng.” 

Pembukaan  dilanjutkan dengan pementasan tarian “Roro Mendut”  oleh Dwi Windarti dan Women Pencak Silat Performance  dari KPSN Perempuan Muntilan, sebelum audiens digiring menuju ke galeri pameran. Sementara, Nia Dinata mengaku terkesan dengan pameran ini.  Ia jatuh cinta  konsep dan isi acara pameran dan opening ceremony-nya, yang menurutnya tak biasa.  “Ini adalah pameran yang indah, dengan dinamika sebelas perempuan pelukisnya. Rasanya menyenangkan bisa melihat gaya dan personiliti yang berbeda dari setiap karya.”


IRIS gallery terletak di ujung hotel Dusun Jogja Village Inn. Sebuah hotel berkonsep suasana pedesaan di kawasan selatan Yogya.
Setelah melewati lobi, kolam renang dan pendopo besar bergaya arsitektur Jawa, tepat di belakang pohon beringin, galeri berukuran agak mungil itu bisa ditemui. 

Lukisan “Somniloquy” dan “Sang Penakluk” menyambut pengunjung begitu memasuki pintu galeri. Beberapa langkah berikutnya, deretan sembilan karya pelukis perempuan lain yang tertata menghiasi ruangan. Interpretasi ‘women lead’ tampil berbeda di setiap karya yang alirannya juga tak sama. Tak semuanya melukis, Veronica misalnya, ia membuat simple drawing menggunakan java art paper dengan ‘bantuan’ kopi, kunyit dan bijih kopi. Atau Lois Nur yang menghadirkan karya kristik. Ia mengatakan kristik adalah media yang ternyaman, karena membuatnya merasa dekat dengan ibunya. 

Di antara puluhan lukisan yang dipajang, harus diakui kalau karya Niken Candriana, Lelyana Kurniawati dan Sri Pujiastuti yang paling mudah membuat  kepala menengok. Karya Lelyana yang kebetulan menampilkan sosok wanita di lukisannya, bukan hanya indah tapi juga cukup mudah dimengerti, dengan kata lain penikmat lukisan tak perlu berkerut dahi untuk memahami lukisan-lukisannya. Meski, Lely tentu saja menyertakan konsep yang jelas saat melukis. Ia mengatakan lukisannya adalah komunikasinya dengan alam semesta. Daun yang ia visualkan merupakan symbol sebuah ritme, selain juga siklus tentang kedatangan dan kepergian dalam kehidupan. 

Simbol menjadi permainan lain bagi Niken. Ia memakai bunga sebagai symbol keperempuanan. Karyanya selintas tampak ‘menyakitkan’ namun indah sekaligus. Niken mengakui kalau karyanya adalah refleksi personal. Ada cerita-cerita pribadi di balik setiap lukisannya. Dalam “Sepatu Merah”, tak ada gambar sepatu, dan bisa jadi tanpa penjelasan detail, hanya Niken saja yang tahu. Meski lukisan ini mengisahkan kenangannya tentang adik perempuannya yang terobsesi akan kecantikan fisik. Bagaimana cantik itu adalah ukuran badan, dan bagaimana perempuan rela tersiksa hingga nyaris  mati demi sebuah standar kecantikan lahiriah.


Sementara itu, kesan yang sangat berbeda bisa dilihat dari deretan karya Sri Pujiastuti, yang kebetulan memamerkan enam buah karyanya di Women Lead. Lukisan-lukisan Astuti berkesan naïf dan bergaya ala ‘kartun’ dengan warna-warni pastel ceria. Ia tak ragu menampilkan perempuan berkulit pink dan berambut kuning jagung. Atau memberinya tubuh ular dan binatang lainnya. Tapi perempuan dalam lukisannya adalah pemimpin, atau minimal pengayom. Binatang-binatang, atau mahkluk-mahkluk kecil bak peri tak lain adalah anak buahnya. Sementara macan yang berkali-kali hadir bersama sang perempuan, tak lain adalah lambang laki-laki. “Laki-laki hanya bisa dikalahkan oleh kelembutan,” begitu ungkapnya. Di sini, ia menarik garis ekstrim : macan yang liar dan buas, dijinakkan seorang perempuan cantik. 

Lukisan seperti itu juga yang akan mengiring pengunjung pulang di dekat pintu kiri keluar  galeri : “Sang Penakluk” yang menggambarkan seorang perempuan duduk memegang cambuk, dengan seekor harimau duduk manis di bawahnya. Sementara di sebelah kanan, “Somniloquy” karya Niken memberi impresi yang jauh berbeda : seorang perempuan telanjang dengan tubuh berongga, memegangi jantungnya. Tak ada ‘bebauan’ nyata  dapur, sumur dan kasur dalam Women Lead. Ini adalah sebuah representasi perempuan tentang dirinya, tentang dunianya. Dan Rany Handayani, barangkali sekarang bisa sedikit  tersenyum tenang, sebelum mulai mewujudkan impian berikutnya. 
Yogya, 28 Agustus 2015
Courtesy Majalah Dewi


 (Tulisan ini akan dimuat di majalah Dewi edisi Oktober 2015, terbit akhir September 2015. Karena deadline menuju terbit adalah sekitar 30 hari, maka sebelum 'resmi' tampil di halaman Dewi, saya memposting tulisan ini untuk pihak-pihak tertentu yang berkaitan saja, sebelum pameran di Iris Gallery berakhir tanggal 22 September 2015. Saya berharap, hak cipta dan penulisan ini dihargai oleh pembaca, dengan tidak mengambil sebagian tulisan ini sebelum terbit untuk keperluan publikasi. Mohon maaf, harap maklum dan terima kasih.)

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

'egla-egle' bak cuaca