"Kamu pake BB?"
Itu pertanyaan yang beberapa kali terlontar dari teman-teman saya. Dan seperti biasa saya menjawabnya dengan jawaban yang asal serta sok lucu, "Nggak, saya pake be-ha."
Dalam beberapa bulan terakhir saya juga sering mendapat kiriman nomor PIN, sembari menanyakan PIN saya. Awalnya, jujur saja saya bingung... sembari dalam hati mikir, "Kok minta PIN, maksud apa ya? Apa PIN ATM...lha wong cuma itu saja yang saya punya." Saya mencoba berpikir ulang, seingat saya kartu perpustakaan saya sudah 3 tahun mampus, dan saya sama sekali tak ingat apakah perlu PIN untuk pinjam buku perpustkaan. Setelah kiriman 4 PIN berikutnya, saya baru ngeh kalau yang dimaksud adalah PIN BlackBerry.
Sungguh mati, saya tak pernah punya BB. Dulu di kala BB masih belum sepopuler sekarang, jumlah pemakai yang saya kenal tak lebih dari 5 orang, saya memang pernah kepincut. Tapi karena terjadi kebangkrutan lokal, boro-boro mikir beli BB, beli pulsa saja saya sering sampai mencari sisa-sisa recehan yang terjatuh di bawah ranjang.
Tapi diluar semua alasan tadi, saya memang tidak (lagi) kepingin punya BB - meski saya akui, pernah sih satu dua kali saya beli minuman ringan yang konon mengandung hadiah BB. Namun Tuhan sepertinya memang belum mengijinkan saya punya BB. Ya sudahlah, ngoyo amat. Meski diluar sana BB begitu hot, mungkin hampir semua manusia yang merasa beradab punya benda itu. (Saya sendiri mungkin memang kurang beradab dalam kasus ini.)
Suatu hari yang cerah, saya ditelpon teman lama. Lagi-lagi menanyakan PIN BB saya. Ketika saya bilang kalau saya memang tidak punya BB, teman saya yang manis berambut keriting indomie itu bilang begini, "Beli aja yang murah, BB palsu bikinan China. Harganya paling 500 ribu."
Huaaaa! saya kaget setengah metong. Sesuatu banget kah BB?
Di kesempatan berikutnya, teman saya yang lain, yang mungil berambut keriting njepat menanyakan hal yang sama. Dan kali ini saya memberinya jawaban yang lebih diplomatis : "BB hanya cocok buat mereka yang super sibuk. Atau yang super nganggur macem ibu-ibu tukang gosip. Lha saya bukan dua-duanya..."
Klik! Saya lupa bener kalau teman saya itu ibu rumah tangga yang suaminya kaya raya, sehingga kalau siang-siang ya kerjaannya cuma nonton acara gosip, dan sepertinya lalu bergosip. Salah lagi deh.
Sumpah mampus, sekarang saya makin tidak tertarik punya BB. Dan semua jawaban yang saya berikan itu jujur-jujur saja. Malah kalau saya berikan jawaban yang lebih jujur lagi, bisa-bisa makin tidak diterima. Misalnya :
1. Saya nasionalis, BB kan dibikin di Malaysia yang pernah beritikad mencuri batik, reog, tempe, rendang, angklung, kwaci (yang belakangan rumor). Belum lagi derita TKI di sana (meski ini juga tak jelas akar salahnya dimana). Dengan kata lain : masak sih saya beli produk yang dibikin di Malaysia? Nggak banget deh.
2. Saya anti trend, well, kadang-kadang. Masak harus ikutan antri dari Ancol sampai Merauke buat BB apa itu yang serial baru. Nggak usah deh. Makasih.
3. Saya tak suka produk yang terlalu masal dan pasaran.
4. Saya menunggu punya duit buat beli Iphone sekalian.
Mending antri susu ketimbang antri BB dah!
Kedengarannya belagu dan sombong memang. Tapi apa salahnya pakai HP lawas yang hanya bisa buat SMS. Malah kadang saya kangen telegram atau semaphor sekalian. Apa salahnya kuna selama masih bisa komunikasi?
Lucu, pada suatu kali, sekitar 2 tahun lalu, saya ke ITC Kuningan, iseng-iseng saja lihat-lihat gadget... Pas didepan sebuah counter, ada dua orang ibu-ibu berdandan keren, yang satu sedang menservis BB nya, satu lagi hanya window shopping saja. Mereka mengobrol dengan sang penjual. Tiba-tiba terdengar kalimat ini, "Tuh kan Jeng, kalau pake BB bisa FB-an." Dalam hati saya berpikir, apa ini nggak salah dengar? Buru-buru saya ngacir sebelum mendengar dialog yang lebih aneh lagi, sambil mikir, apa ya jawaban saya lain kali.
Kamu pake BB? Gedubrag tuing!
Dalam beberapa bulan terakhir saya juga sering mendapat kiriman nomor PIN, sembari menanyakan PIN saya. Awalnya, jujur saja saya bingung... sembari dalam hati mikir, "Kok minta PIN, maksud apa ya? Apa PIN ATM...lha wong cuma itu saja yang saya punya." Saya mencoba berpikir ulang, seingat saya kartu perpustakaan saya sudah 3 tahun mampus, dan saya sama sekali tak ingat apakah perlu PIN untuk pinjam buku perpustkaan. Setelah kiriman 4 PIN berikutnya, saya baru ngeh kalau yang dimaksud adalah PIN BlackBerry.
Sungguh mati, saya tak pernah punya BB. Dulu di kala BB masih belum sepopuler sekarang, jumlah pemakai yang saya kenal tak lebih dari 5 orang, saya memang pernah kepincut. Tapi karena terjadi kebangkrutan lokal, boro-boro mikir beli BB, beli pulsa saja saya sering sampai mencari sisa-sisa recehan yang terjatuh di bawah ranjang.
Tapi diluar semua alasan tadi, saya memang tidak (lagi) kepingin punya BB - meski saya akui, pernah sih satu dua kali saya beli minuman ringan yang konon mengandung hadiah BB. Namun Tuhan sepertinya memang belum mengijinkan saya punya BB. Ya sudahlah, ngoyo amat. Meski diluar sana BB begitu hot, mungkin hampir semua manusia yang merasa beradab punya benda itu. (Saya sendiri mungkin memang kurang beradab dalam kasus ini.)
Suatu hari yang cerah, saya ditelpon teman lama. Lagi-lagi menanyakan PIN BB saya. Ketika saya bilang kalau saya memang tidak punya BB, teman saya yang manis berambut keriting indomie itu bilang begini, "Beli aja yang murah, BB palsu bikinan China. Harganya paling 500 ribu."
Huaaaa! saya kaget setengah metong. Sesuatu banget kah BB?
Di kesempatan berikutnya, teman saya yang lain, yang mungil berambut keriting njepat menanyakan hal yang sama. Dan kali ini saya memberinya jawaban yang lebih diplomatis : "BB hanya cocok buat mereka yang super sibuk. Atau yang super nganggur macem ibu-ibu tukang gosip. Lha saya bukan dua-duanya..."
Klik! Saya lupa bener kalau teman saya itu ibu rumah tangga yang suaminya kaya raya, sehingga kalau siang-siang ya kerjaannya cuma nonton acara gosip, dan sepertinya lalu bergosip. Salah lagi deh.
Sumpah mampus, sekarang saya makin tidak tertarik punya BB. Dan semua jawaban yang saya berikan itu jujur-jujur saja. Malah kalau saya berikan jawaban yang lebih jujur lagi, bisa-bisa makin tidak diterima. Misalnya :
1. Saya nasionalis, BB kan dibikin di Malaysia yang pernah beritikad mencuri batik, reog, tempe, rendang, angklung, kwaci (yang belakangan rumor). Belum lagi derita TKI di sana (meski ini juga tak jelas akar salahnya dimana). Dengan kata lain : masak sih saya beli produk yang dibikin di Malaysia? Nggak banget deh.
2. Saya anti trend, well, kadang-kadang. Masak harus ikutan antri dari Ancol sampai Merauke buat BB apa itu yang serial baru. Nggak usah deh. Makasih.
3. Saya tak suka produk yang terlalu masal dan pasaran.
4. Saya menunggu punya duit buat beli Iphone sekalian.
Kedengarannya belagu dan sombong memang. Tapi apa salahnya pakai HP lawas yang hanya bisa buat SMS. Malah kadang saya kangen telegram atau semaphor sekalian. Apa salahnya kuna selama masih bisa komunikasi?
Lucu, pada suatu kali, sekitar 2 tahun lalu, saya ke ITC Kuningan, iseng-iseng saja lihat-lihat gadget... Pas didepan sebuah counter, ada dua orang ibu-ibu berdandan keren, yang satu sedang menservis BB nya, satu lagi hanya window shopping saja. Mereka mengobrol dengan sang penjual. Tiba-tiba terdengar kalimat ini, "Tuh kan Jeng, kalau pake BB bisa FB-an." Dalam hati saya berpikir, apa ini nggak salah dengar? Buru-buru saya ngacir sebelum mendengar dialog yang lebih aneh lagi, sambil mikir, apa ya jawaban saya lain kali.
Kamu pake BB? Gedubrag tuing!
Comments
Post a Comment