Keputihan!

"Keputihan" adalah satu kata dengan banyak arti. Dan sialnya lebih banyak bersinggungan dengan kaum Hawa. Dengan kata lain, kata "keputihan" sudah pasti akrab dengan saya, dari keputihan penyakit hingga keputihan saat mengecat tembok. Tapi "keputihan" yang belakangan mengusik benak saya beda lagi. Kali ini soal pemerataan warna kulit. 


Coba saja jalan ke mini market, super market atau mall, ada begitu banyak yang menawarkan produk pemutih kulit. Belum lagi yang jualan lewat facebook. Rata-rata memberi janji dan klaim yang serupa : putih dalam waktu sekian minggu. Apa iya? Lha terus kenapa kalau putih? Lalu, apa benar lebih putih = lebih cantik? Saya kok meragukan pendapat prematur dan asal tuduh yang satu ini. Bukan karena saya terlahir berkulit cukup gelap, bahkan dulu Nenek saya menyebut saya 'nonah Ambon' karena dianggap jeliteng, dan memang beliau tak punya referensi mengenai Black people, padahal jelas kala itu alm. Jacko juga masih hitam. Maklumlah beliau dulu tak sempat baca majalah hiburan. 


Ada masa dimana saya lantas rada malu berkulit gelap, saat saya mulai puber dan ditaksir cowok cakep berkulit terang. Lalu terpaksa belajar luluran, bahkan melumuri kaki saya yang gelap dengan parutan kunyit sambil berharap kulit saya berubah jadi kuning keemasan. Hasilnya? kulit saya malah bergradasi warnanya, dari coklat tua dan 'meluntur' ke kuning. Setelah selesai masa itu dan saya masuk SMA, saya tak peduli dengan warna kulit saya. Dan begitu sampai sekarang, yang penting nggak panuan. Belang dikit masih bisa diterimalah. Bersisik dikit juga oke, selama tidak kayak buaya. 






pic : http://www.kissbrooklyn.com/wp-content/uploads/2010/10/Rainbow-zebra.jpg


Tapi beberapa tahun silam, ada mantan saya yang ternyata lebih suka bila saya berkulit terang. Dia bahkan melarang saya pakai tanning lotion. Lho, padahal kata supermodel Elle MacPherson, warna kulit coklat akan membuat ilusi seolah lebih langsing - lha saya kan dulu gemuk, jelas saya pengen tampak lebih langsing ketimbang lebih terang, emang saya lampu. Enak aja. Untung akhirnya saya putus dengannya. Dan saya menduga akan lepas dari urusan 'keputihan' yang satu ini. 


Ternyata dugaan saya salah. Beberapa bulan lalu saat saya sedang mencari toilet di sebuah mall di Jogja, tiba-tiba ada tangan yang menarik lengan saya. Sontak saya menoleh, ternyata seorang sales girl sebuah produk pemutih kulit lokal yang mengklaim warna kulit (tubuh) saya akan putih rata bagai tembok dalam waktu dua minggu saja. O wow! dalam hati saya, hebat amat. Dengan dua pertiga memaksa dia langsung mengoleskan krim pemutih tersebut pada tangan saya. "Itu bekas lukanya bisa ilang dalam dua minggu Mbak," begitu rayunya. Saya manggut-manggut nggak konsen sambil menahan kebelet pipis. "Beli dua dapat tiga Mbak. Diskon 20 persen."  Hah? Lalu berapa harga aslinya? Benar-benar layak diragukan. Jangan-jangan krim tadi terbuat dari kapur yang dicampur air liur buaya. 


Segitunyakah orang pingin berkulit putih terang, sehingga mengira semua perempuan berkolor alias women of color alias yang kulitnya berwarna-warni pengen memutihkan kulitnya? Saya kesal pada iklan-iklan pemutih kulit yang menampilkan testimoni laki-laki (bloon) yang mengatakan : "Perempuan cantik itu yang berkulit putih." Dangkal banget. Dan kecakepan banget deh. Saya juga kesal pada iklan-iklan yang membuat para model warna kulitnya rata sehingga kayak gambar kartun 2-dimensi berkat bantuan photoshop. Tapi tentu saja kekesalan saya tak banyak gunanya, selain menyelamatkan isi dompet saya dari rayuan produk pemutih kulit tadi.


Hanya saja, kadang-kadang saya masih suka berharap tiba-tiba banyak perempuan Indonesia yang bilang begini : "Mas, saya ini keputihan, saya kan perempuan berkolor!" 

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca