Mangga yang Paling Berharga

Lagi-lagi soal mangga. Dan lagi-lagi ini kisah tahun silam ketika saya masih tinggal di area ring road utara Jogja. Tahun lalu, seperti pernah saya ceritakan, pohon mangga di area tempat tinggal saya benar-benar membahana. Musim yang penuh dengan panen berbagai jenis mangga. Kata tetangga saya, seorang tukang pijit yang sudah puluhan tahun tinggal di area tersebut, kalau satu pohon dijual (mangganya) minimal 200 ribu, tapi dengan catatan : pasrah bongkokan, semua boleh diangkut. Saya mendengarkan penjelasan tersebut sambil garuk-garuk kepala. Bukan apa-apa, selain malas berhitung, saya kala itu juga tak ada niatan mengilokan hasil pohon mangga saya. 

Selain mangga, di area kami tersebut juga penuh dengan pemulung yang datang silih berganti dengan trayek dan shift masing-masing. Masalahnya, para pemulung ini tak kenal musim. Mau musim mangga, mau musim rambutan, musim hujan, panas, angin bahkan ketika tak ada musim apapun, mereka membuat sebuah musim sendiri : musim memulung 24/7 dengan jeda yang tak pernah diketahui oleh non pemulung lainnya.  Lantas apa hubungannya? Ternyata ada. Surprise kan? 




Saya ingat betul, siang itu panas banget. Sudah jam dua tapi panasnya masih kayak jam dua belas siang. Jemuran sudah mulai mengering. Dan inilah saat sekaligus area pertemuan antar tetangga yang hanya dibatasi jalan selebar tiga meter minus setengah meter selokan. Mau nggak mau, saya jadi ngobrol dengan tetangga seberang rumah yang super ramah : Mr. Romlah. Kadang obrolannya benar-benar tak berguna, soalnya saya dan beliau sebenarnya nggak nyambung -- untung selera humor kami rada berlebihan sehingga semua perbincangan harus dipelesetkan, kalau mau nyambung. 

Di tengah obrolan tentang pasukan ronda kampung, tiba-tiba perhatian Pak Romlah terbelah. Beberapa belas meter dari arahnya tampak seorang pemulung yang bertubuh kecil dan agak pendek berjalan santai menggendong karung. 
"Eh bentar ya," kata Pak Romlah meminta ijin. 
Ia lantas berjalan ke arah sang pemulung sembari berteriak : "Eh kowe yang tadi ambil sampah di rumahku ya?!" 
Sang pemulung berhenti di tempatnya. Ia memandang Pak Romlah dengan memicing. Lalu sambil membenarkan posisi topinya ia menjawab dengan lantang : "Opo maksudmu Pak?"
Kaget, ternyata pemulung tadi kok perempuan. 
"Sini, aku mau ngomong!" jawab Pak Romlah.
"Ngomong aja!"
"Tadi kowe masuk ke halaman rumahku kan? Nyolong pelem? Tuh pelemku ilang dua."
"Enak aja! Ojo nuduh!" Tapi sambil menjawab si pemulung meletakkan sesuatu di belokan jalan di belakangnya. 
"Lho, anakku tadi liat kok. Ayo ngaku aja!" 




Beberapa detik kemudian, Ida, anak pak Romlah yang kelas 3 SMP nongol dari rumahnya. Tak mau kalah, si Pemulung memanggil seorang pemulung laki-laki muda yang ia akui sebagai anaknya.
"Opo? Aku yo duwe anak ki! Aku ora mlebu omahmu."
"Ini anakku weruh dewe. Manggaku tadi masih ada sekarang ilang. Siapa lagi yang ngambil kalau bukan kowe!" (note : pak Romlah yang bahasa Jawanya buruk malah membuat kalimatnya terdengar bak prajurit Kompeni kesasar di telinga saya.) 
"Ngapain ambil manggamu yang masih mentah dan ndak enak!" jawab pemulung tadi tak mau kalah. 
Diluar dugaan si mungil Ida maju membela bapaknya. Setiap kali si Pemulung mengatakan satu kalimat, maka Ida akan menimpalinya dengan kata 'ndobos!' sambil menunjukkan tangannya ke arah sang pemulung. 

Saya benar-benar tak tahan buat tak tertawa, dan memilih bersembunyi di balik handuk besar yang masih bergelantungan di jemuran hingga drama satu babak itu kelar. Pak Romlah sendiri lantas menjelaskan pada saya kalau ia tak suka orang yang suka nyolong. 
"Ini bukan masalah harganya. Tapi kalau sekali nyolong mangga, jangan-jangan besok nyolong ember, lalu jemuran." Hm, ada benernya juga. Secara kompleks perumahan itu dulu kalau siang sepi sekali. 

Meski begitu,  hingga kini tampaknya tak pernah terpecahkan misteri hilangnya dua buah mangga paling berharga itu. Tapi untuk beberapa saat, pemulung tadi dan 'anaknya' tak tampak berseliweran di RT kami. Barangkali, tukar trayek dengan teman lainnya. 

Comments

  1. suka dengan gaya berceritanya..........khas

    ReplyDelete
  2. makasih... ini cuma lucu2an kok, hiburan gratis buat teman2 :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca