Rindu Pak Pos

Waktu kecil dulu, salah satu idola sekaligus pahlawan saya adalah Pak Pos. Saya ingat betul, setiap minggunya beliau akan datang mengantar majalah, dan surat-surat atau kartu pos. Dan setiap minggu pula, saya dengan setia akan menantinya dari balik pagar. Begitu mendengar bunyi 'kring-kring' sepedanya, saya akan buru-buru lari ke pintu. Rasanya luar biasa senang menerima kiriman-kiriman itu. Padahal belum tentu kiriman itu buat saya, tapi keramahan dan ketulusan Pak Pos tua yang mengantar entah kenapa membuat saya girang bukan kepalang. Dan, saya merelakan waktu bermain saya untuk menantinya setiap pekan. 

'Obsesi' saya terhadap 'dunia' tukang pos, tak berhenti di situ. Kebetulan, dulu rumah kami dekat kantor pos. Selain sering disuruh beli perangko,  saat agak besar saya sering beli majalah Kuncung di sana. Kadang saya sengaja datang sebelum hari majalah seharusnya tiba, hanya untuk menikmati lantai marmernya yang dingin, melihat-lihat mangkok lem yang ditata rapi di pinggir meja, dan yang paling saya sukai : menonton petugas pos mengetokkan cap pada amplop atau kartu pos yang telah dipasangi perangko. 





Belakangan -- sudah cukup lama -- saya jarang menjumpai tukang pos yang naik sepeda. Malah saat saya tanya-tanya, saya ditertawakan, karena sekarang pos sudah diantar memakai mobil atau motor. Apa boleh buat, bagi saya yang namanya Pak Pos = naik sepeda kumbang lengkap dengan bunyi 'kring-kring'nya itu. 

Sebenarnya, itu pula yang sering saya pikirkan tentang surat. Saya sering merasa betapa tehnologi yang serba canggih dan instant membunuh semua romantisme dan sentuhan manusia(wi). Saya masih ingat rasanya membuka lipatan surat yang mungkin ditulis dengan penuh perasaan, bahkan barangkali ada tetesan air mata atau keringat di ujungnya yang membuat tinta pada kertas 'mbeleber'. Bau kertas yang khas, atau kartu pos yang kadang kita terima sudah agak lecek bagi saya adalah sesuatu yang hilang. Saya membayangkan ada begitu banyak sentuhan manusia hingga sampai ke tangan manusia yang ditujunya. 

Tentu saja, kekunoan saya sering ditertawakan. Semua orang tahu email adalah cara tercepat untuk menyampaikan pesan, selain SMS, atau chat. Tapi di mana letak romantikanya? Saya kurang tahu. Saya tak bisa membaui email, saat chat kadang ternyata yang diajak ngobrol sedang makan siang atau sibuk (tapi komputer masih nyala - sehingga kesannya kita dicuekin, dan saya juga sering melakukan hal yang sama), SMS kadang delayed dengan berbagai sebab. 

Saya sering berpikir, kalau seandainya hari ini seluruh jaringan internet mati, saya tak keberatan kembali ke jaman dulu. Saya rindu menulis surat dengan tangan dan mengeposkannya. Lalu menanti Pak Pos yang saya kangeni muncul naik sepeda kumbangnya. Tapi pertanyaanya, hari gini, siapa yang mau terima surat dari saya? 


Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca