BARTER ILMU #1 : belajar merokok

Saya rasa pada suatu masa hampir semua orang pasti pernah melakukan aksi coba-coba. Dari mencoba kostum yang nggak nyambung, nyolong jambu tetangga sampai...merokok. Pada masing-masing masanya, saya pernah mencoba tiga hal yang saya sebutkan di atas. Tapi diantara ketiganya, menurut saya yang paling susah adalah yang terakhir. Namun, rasa penasaran dari sekedar menyelipkan rokok di mulut sampai rasanya, mengalahkan segalanya. Apalagi, kala itu hampir semua teman kuliah tampaknya juga merokok. Nggak mau ketinggalan dong. 

(Ini memang bukan kisah yang layak diteladani. Apalagi sekarang larangan merokok semakin menyeruak. Akan tetapi... ini sebuah kenangan yang unik dan menurut saya, layak 'dibagi' ke sesama.) 





Beruntunglah, akhirnya di semester tiga, saya kost bareng teman sekampus. Panggil saja Ely, yang bukan hanya lantas jadi teman nyari makan di warteg, teman begadang, teman sepenanggungan di kost-kostan tapi juga teman yang penasaran akan gaya dan rasa rokok. Dan beruntunglah pula, di kost tersebut kami bertemu Mbak Yola : teman baru - yang lantas dengan instant jadi teman baik. Mbak Yola yang berbadan mungil dan berwajah cantik-eksotik ini  adalah seorang mahasiswi universitas swasta dua angkatan di atas kami. Kabar baiknya lagi ia sama sekali tak pelit ilmu, bagi-bagi jajanan dan... sudah sangat jago merokok -- minimal dari penampakan yang sering kami lihat. 

Kamar Mbak Yola ini terletak di tengah, dekat dengan meja kursi tamu. Jadi setiap kali saya dan Ely mau ketemu pasti melewati kamarnya. Kebetulan saya dan Ely tinggal di kamar yang letaknya sama-sama di ujung. Setiap kali lewat, pasti kami melihat Mbak Yola dengan gaya cueknya sedang merokok. Dan gayanya itu, di mata kami top banget. Dengan gincu warna merah maroon, atau merah menyala ia menghisap rokok dan meninggalkan jejak gincu pada batangnya....yang menurut saya kala itu : seksi sekuali. 

Setelah akrab, ternyata Mbak Yola yang asli Kalimantan ini mengungkapkan sebuah permintaan : "Mbok aku diajari bahasa Jawa. Masak sudah tiga tahun, aku nggak bisa-bisa." 
Nah ini dia pikirku dan Ely, akhirnya kami punya alasan untuk minta diajari merokok. 
"Kalau gitu kita barter ilmu aja Mbak," sahut Ely nekad. 
"Ilmu apa?"
Aku dan Ely saling pandang sama cengengesan...
"Ilmu... merokok Mbak."
"Walah!" Mbak Yola menyambut senang.  "Kenapa nggak dari kemarin-kemarin?"
Kami berdua cengengesan lagi. Dengan gembira dan lega kali ini.
"Ya udah. Nanti malam Minggu kalau aku nggak keluar kita kumpul di lantai tiga. Bawa rokok sendiri-sendiri yang mereknya jangan sama. Aku nanti bawa yg merek D ya."
Kami mengangguk. Malam Minggu itu masih beberapa hari lagi. Masih ada waktu buat latihan beli rokok di warung tanpa malu dan rasa bersalah. Malu lantaran kok cewek beli rokok. Bersalah lantaran kok manis-manis mau ngerokok. Intinya : malu tapi mau. 




Dan malam Minggu pun tiba. Rupanya pacar Mbak Yola sedang pulang kampung jadi saat latihan pun tiba. Sementara saya dan Ely yang jomblo sudah siap dengan bungkus rokok masing-masing. Kami sengaja beli bareng supaya mereknya nggak sama. Menjelang jam sembilan kami pun lantas naik ke lantai tiga. Sepiiii.  Lha iyalah, wong lantai tiga nya ini tak lain berupa area jemuran seluas 4 x 8 meter. Paling banter ada kadal insomnia atau burung hantu kepagian. 

Dengan penerangan lampu di masing-masing ujung, lantai tiga tampak remang-remang. Kami memilih duduk di salah satu pojok yang bersih dan bisa mengintip ke jalanan luar. Mbak Yola pun memerintahkan agar rokok masing-masing dikeluarkan. Sebelumnya ia mengajari agar bungkusnya ditepuk-tepuk dulu ke bawah, katanya supaya tembakaunya turun. Kami memperhatikan dengan seksama sebelum melakukan hal yang serupa. 

"Lho kalian ini anak seni rupa masak nggak bisa merokok?" tanyanya. "Temen-temen kalian pasti banyak cowoknya kan?" 
"Yaaa...masih baru kan Mbak. Lagian tahun lalu kami kan tinggal sama saudara, nggak beranilah njajal merokok." 
"Oke, sekarang keluarin satu batang."
Saya dan Ely dengan cepat melaksanakannya. 
"Begini cara pegangnya. Diselipkan diantara jari telunjuk dan jari tengah."
Saya dan Ely mencoba gayanya. Kaku. Wagu.
"Coba, jangan dipegang pake jempol dan telunjuk. Itu gaya dukun."
Tetap wagu. Tapi ya sudahlah namanya juga masih perawan. 

Lalu lompat ke pelajaran berikutnya : menyalakan rokok. Nah ini juga agak tricky. Sebagai rookie ternyata menyulut rokok tidak mudah. Lebih sering korek api mati dulu sebelum rokok bisa menyala. Setelah terbakar, pe-er berikutnya adalah bagaimana menghisapnya. Dan ini juga tak mudah. Batuk, dan tersedak adalah dua hal yang paling sering terjadi. Pengalaman pertama itu membuat saya dan Ely terbatuk-batuk, untung tak lama. Setelah menenggak air mineral kami sukses pelajaran pertama. 

Tapi, ternyata sang mentor tidak puas. Mbak Yola malah menyuruh kami mengulang pelajaran tadi dari awal. Dan mulailah saya dan Ely kembali beraksi. Tiba-tiba Mbak Yola berteriak agak histeris :
"Ely, kamu kenapa beli rokok merek B ini?"
Dengan kaget dan lugu Ely menjawab : "Lho kan yang penting beda..."
"Iya Mbak," timpal saya. "Saya kan beli merek A, si Ely beli merek B."
"Aduuuh...kalian ini bener-bener lugu. Merek A oke ya. Tapi merek B ini jangan sekali-kali kalian beli lagi. Rokok merek ini kan rokoknya pelacur. Sementara kita cewek baik-baik." 
Saya dan Ely terpana. 
"Yang bener Mbak?"
Mbak Yola mengangguk-angguk dengan sangat menyakinkan. 
"Ngapain aku bohong."
"Lha terus gimana dong isinya masih banyak gini?" tanya Ely masgul. 
"Ya sudah," jawab Mbak Yola dengan bijak.
"Malam ini kan nggak ada yang tahu, ya kita habisin aja bareng-bareng."

Malam itu, bisa jadi salah satu malam terbaik yang pernah kami lewatkan bertiga. Ngobrol ngalor-ngidul sambil terbatuk-batuk lantaran terlalu ingin cepat pintar merokok. Menjelang dini hari kami turun dengan badan bau asap. Dan tidur dengan bau yang sama tapi dengan senyum baru : senyum keberhasilan. Meski itu bukan pelajaran yang penting, tapi saya tak pernah bisa lupa. Setiap kali ingat peristiwa itu saya sering bertanya-tanya, apakah sekarang Mbak Yola masih merokok. Setahu saya Ely sudah berhenti cukup lama, begitu pula saya. Dalam semua hal akan selalu ada perpisahan, tapi saya rasa pengalaman pertama selalu tak bisa berpisah dari memori kita. 



Comments

  1. o ngono to ceritanya, nek aku coba dolanan rokok klas 5 sd di sawah.
    kata-kata pembelaan perokok kalo mau berhenti "belajarnya aja susah sampe batuk2 kok setelah mahir suruh berhenti"

    ReplyDelete
  2. hahaha...bener iku...angel sinaune.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca