NORMAL itu...

Apa itu normal? Jujur saja, saya tidak pernah tahu. Kita bicara 'kenormalan' fisik, pikiran atau kondisi lainnya? Nggak usah jadi kelewat kompleks. Belakangan, saya dengar-dengar kalau sebagian orang menganggap saya tidak normal. Jangan kawatir, saya sama sekali tidak tersingung. Bagaimana sayaa harus tersinggung, kalau alasan mereka menganggap saya tak normal, menurut saya cemen dan kuno, dan menunjukkan bahwa mereka juga tidak kenal saya. Ini alasannya: karena saya (tampak) selalu single dan tidak menikah.

Saya pikir, tiap orang punya tujuan hidup sendiri-sendiri. Bahasa jaman now-nya: life goal. Dan barangkali memang saya tidak normal, karena life goal saya bukan 'menikah'. Saya hanya ingin bahagia, dan percayalah menjadi orang yang bahagia itu tak gampang. Entahlah, setidaknya begitu menurut saya.

Tentu saja, ada masa-masa ketika saya ingin juga menikah. Tapi kalau seandainya itu dulu terjadi, sudah pasti saya sudah bercerai setidaknya tiga kali. Tentu saja, ada masa-masa ketika saya gemas melihat si U yang nggak imut itu sudah punya pasangan, atau si O yang menyebalkan menikah ala putri keraton. Tapi, untungnya itu hanya sesaat. Saya 'ora pateken', karena banyak hal lain yang menurut saya lebih penting dan krusial, misalnya tentu saja melanjutkan hidup, alias bekerja, berkarya atau hal lainnya.



Saya kira, tiap orang punya takdir dan jalan hidupnya masing-masing. Dan sudah seharusnya kita bisa saling menghargai pilihan masing-masing. Saya menghargai mereka yang menikah, bercerai, menikah lagi atau apa pun itu. Saya juga merasa Tuhan sudah memberikan setiap orang takdirnya masing-masing. Dan setiap kali ada teman yang jatuh kasihan melihat atau lebih tepatnya mengira saya jomblo forever, dan mencoba mencarikan jodoh, saya selalu bilang: "Sudahlah, anggap saja saya tidak beruntung (punya pasangan)."

Bagi saya, menjadi makelar jodoh itu pekerjaan nggak mutu dan kuno. Mbok sudah nggak usah ngurusin hidup (dan pilihan) orang lain. Apa kalau saya menikah, terus Indonesia akan mendadak makmur sejahtera? Kan ya nggak. Dan apakah mereka tidak ingat kisah Siti Nurbaya yang nelangsa lantaran dinikahkan dengan laki-laki bukan pilihannya? Lalu tentu saja pertanyaan selanjutnya yang barangkali akan membuat semua orang marah pada saya: "Apakah dengan menikah Anda menilai orang yang tidak menikah lebih buruk? Dengan kata lain Anda lebih superior hanya karena bergelar nyonya atau tuan?"


Atau barangkali saya memang tidak normal? Ah sudahlah. Justru saya sekarang ini merasa beruntung tidak menikah -- meski tak berarti saya single. Saya tidak punya suami yang bisa dipertontonkan di social media, saya tidak perlu bersaing dengan kaum nyonyah besar di arisan-arisan dan ajang sosialita, tidak perlu iri karena mobil si ibu yang suaminya barusan naik jabatan itu lebih bagus, dan seterusnya.

Sungguh, menjadi cacat sosial dan tak normal, di luar dugaan membuat saya bebas dari tekanan-tekanan sosial yang menurut saya konyol tadi. Meski sudah pasti muncul pertanyaan lain, yaitu mana pacar saya. Ini khas pertanyaan penggila infotainment nggak mutu. Saya kira, semua orang punya hak privasi. Tak semua orang suka mempertontonkan hidupnya di sos-med. Saya sendiri kebetulan tergolong manusia penuh praduga, saya takut kalau-kalau ada stalker yang mengintai status dan foto kondisi kekinian saya, lantas berencana menculik misalnya. Sudah pasti itu berlebihan, tapi begitulah  lebay soal beginian. Dan barangkali juga 'tak normal'.


Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca