SENEN


Tubuh kurus renta Senen terbujur kaku di rumahnya – itu kalau bisa disebut rumah, sebuah gubug reyot yang dinding dan atapnya bolong di sana-sini, ukurannya juga tak lebih dari sebuah dapur kecil. Koes berjalan dengan langkah ragu memasuki gubug itu, sontak ia menutup hidung dengan sebelah tangannya. Bau mayat Senen, dan entah bau apa lainnya menyatu menimbulkan aroma yang jauh dari wangi.
Di atas amben bambu lapuknya, Senen tampak lebih tua dari yang biasa ia ingat. Rambutnya lebih banyak putihnya. Kulitnya lebih banyak kerutnya. Tubuhnya tampak lebih ringkih dan kurus. Mulutnya sedikit menganga, memperlihatkan sebagian giginya yang sudah hilang.
Koes menatap mayat Senen dengan nanar, dan sedih sekaligus. Ia mencoba memalingkan mata, tapi seolah wajah kaku Senen mengundangnya untuk melihatnya buat terakhir kali. Sekali lagi, ia lalu menatap Senen, ah matanya belum menutup sempurna. Dengan gemetar Koes mengulurkan tangannya, agak ragu, sedikit risih, namun ia memberanikan diri menutup kelopak mata Senen tadi. Juga mengatupkan mulutnya.
Dingin. Koes kaget sendiri. Setelah beberapa detik berlalu, perlahan ia kembali melirik Senen. Entah kenapa kali ini ia tampak seperti tersenyum. Tanpa sadar Koes menghela nafas. Lega.
Tak lama, muncul temannya, pak Soed yang datang bersama dua orang tukang gali kuburan. Tampak sepotong kain putih di tangannya. Mereka lantas bertatapan penuh arti, tanpa banyak bicara tubuh kaku Senen pun dibungkus, lalu dimasukan ke dalam keranda. Mereka lantas mengangkatnya, berjalan berendengan berempat menuju pemakaman.
Gerimis turun mengguyur jalanan. Ketika mereka memasuki pemakaman, gerimis tak juga mereda. Becek, dan setengah basah. Dari kejauhan tampak liang lahat yang sudah disiapkan seolah telah menanti diisi. Koes mempercepat langkahnya. Ia lantas berdiri tepat di tepi atas mulut liang. Dalamnya tak lebih dari dua meter. Dan itu akan jadi rumah terakhir Senen. Sekali lagi, ia hanya bisa menghela nafas dalam-dalam.

Tak ada jerit tangis, tak ada tabur bunga, cuma doa sesaat yang dipanjatkan Koes beserta ketiga temannya. Dan ia tak pernah melupakan hari itu. Hari di mana ia mengubur temannya, seorang seniman kere bernama Senen. Ia tahu betul sejak hari itu ia tak akan pernah mendengar gesekan biola Senen lagi. Sesuatu yang ia akan rindukan, tapi juga sekaligus sesuatu yang ia takuti : kemiskinan yang amat sangat. Miskin karena idealisme yang amat sangat.
(dari buku saya yang akan datang) 

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca