ORANG-ORANG YANG HILANG


MEMBACA Widji Thukul di pagi hari. Mengingatkan saya, setahun silam lewat, pertengahan Mei 2013, saya membaca tentang seniman yang (di)hilang(kan) itu di majalah Tempo edisi khusus. Terus terang, baru kali itu saya membaca tulisan yang lebih lengkap tentang Widji Thukul ini. Tentu saja, semua informasi yang disampaikan membuat merinding, sekaligus berpikir, jangan-jangan Widji Thukul masih hidup, entah di mana. Saya selalu merasa tak berdaya setiap kali mendengar orang yang hilang, dan tak pernah pulang. Saya pikir, merelakan orang yang kita tahu pasti sudah meninggal jauh lebih gampang. 

Habis membaca, fantasi liar saya mengatakan : alangkah menariknya bila kisah Thukul yang satu ini difilmkan. Dan ide ngawur itu pun lantas saya ceritakan kepada teman-teman dekat saya. Reaksimereka beragam. Ada yang mengatakan : “Menarik, tapi siapa coba yang mau bayarin?” Ada yang bilang : “Bagus tuh, coba pikirin siapa yang cocok main?”Yang lainnya : “Nggak bakalan laku, kalah sama kuntilanak duyung dan nenek gayung.” Sampai ada teman saya yang menganggap ide ini akan segera terealisasi,dan histeris : “Jangaaaaan! Lo mau ikutan ditangkap tim Mawar?!!!”



MEMBACA Widji Thukul di pagi hari. Mengingatkan pada sebuah pertemuan dengan ayah saya. Ketika  itu, beliau masih ada, di sekitar pertengahan tahun 2005. Hari itu saya terima telpon darinya, dan mengatakan kalau sedang ada di Gedung Dewan Pers Jakarta bersama teman-temannya.

Di pelataran gedung sore itu, yang nyaris penuh dengan manusia, saya sedikit kesulitan mencari beliau dan teman-temannya. Tapi, tak lama saya lihat sekelompok pria setengah baya sedang bergerombol. Entah apa yang mereka bicarakan, saya sendiri tak mendapat informasi apa pun sebelumnya dari ayah saya. Begitu melihat saya, beliau langsung memperkenalkan teman-temannya yang semua tampaknya sudah berusia diatas 60 tahun. Tak ada satu pun yang saya kenal, kecuali Pak Satari, teman lama beliau, yang kebetulan akupunturis adik saya.

Pria-pria tua itu, kebanyakan adalah orang-orang kampung yang dituduh sebagai anggota PKI, atau minimal dikatakan sebagai kaki tangan PKI. Mereka menghabiskan sebagian masa mudanya di penjara dan pengasingan. Sebelum ‘dikembalikan’ ke masyarakat, namun tetap saja diasingkan. Sebagian di antara mereka sore itu hanya berdiam diri mendengarkan teman-temannya. Bahkan tampak takut-takut bicara.

Tak lama muncul seorang pria yang masih tergolong muda. Sekali lagi, ayah saya memperkenalkan saya pada temannya ini. Yang sialnya, saya tidak begitu mendengar saat dia mengucapkan namanya. Bukan hanya karena dia tampak ragu menyebut namanya, tapi juga akibat ramainya bunyi trafik di jalan raya tak jauh dari halaman gedung. Hanya sebentar, pria muda tadi rupanya cuma memberitahu kalau beberapa menit lagi undangan diminta masuk ke dalam gedung. Setelah berlalu, salah satu teman ayah saya berkata kalau yang barusan itu adalah mantan mahasiswa aktivis yang sempat diculik. Sial, sampai sekarang saya tak bisa mengingat namanya.

Orang-orang seperti mereka inilah yang sering ‘hang out’ dengan ayah saya beberapa tahun sebelum meninggal. Saya sendiri sebenarnya tak pernah tahu jelas apa kegiatan beliau tersebut, selain sering diundang untuk menemani orang-orang seperti tadi kemana-mana. Saya jugatak tahu apa saja yang dilakukan saat menjadi ‘guide’ tersebut. Tapi saya ingat, beliau begitu bangga dengan kegiatan bersama teman-temannya tersebut –yang  sebagian besar dari mereka hadir menemani di detik-detik terakhir raganya masih ada di muka bumi.

MEMBACA  Widji Thukul di pagi hari. Mengingatkan saya pada Pak Satari. Lelaki tua kurus, yang saya sendiri tak pernah tahu sudah berapa lama berkawan dengan ayah saya. Saya baru mengenalnya di pertengahan tahun 90-an. Saat itu adik saya menjadi pasien akupuntur listriknya. Sejak itu, saya sering mendengar cerita mengenai seorang pria lugu yang ditangkap lantaran dituduh sebagai kaki tangan PKI. Digelandang dari satu penjara ke penjara lain, sebelum akhirnya diasingkan ke pulau Buru.

Saya pernah mendengar kekejaman korban PKI, tapi potongan-potongan cerita yang dikisahkan Pak Satari, banyakyang belum pernah saya dengar sebelumnya. Kisah-kisah anti-humanis yang sering membuat saya meringis ngeri saat mendengarnya. Tapi setiap kali setelah bercerita, beliau selalu berkata, kalau tak pernah ada dendam. “Karena begitulah takdir harus berjalan,” katanya dengan senyum tulus. Setelah sekian lama, saya pun memberanikan diri untuk berniat menuliskannya – yang sialnya hingga kini belum juga kelar.

Saya terlambat tahu ketika beliau meninggal. Ternyata hanya beberapa bulan berselang setelah kematian ayah saya. Dan saya pun kehilangan ‘muse’ sekaligus tukang cerita yang tak kenal capek. Hingga saat ini, masih berhutang pada Pak Satari. Dari hutang menraktir sampai menjadikan ceritanya dalam sebuah buku. “Kowe ojo mati disik Ri!”, kalimat ayah saya masih mengiang di telinga, tiap kali habis kami bertemu untuk sekedar mendengarkan ‘dongengnya’. Tapi, siapa yang bisa melawan takdir, seperti kata Pak Satari tiap kali.

MEMBACA Widji Thukul di pagi hari…dan saya menyadari, kita telah kehilangan begitu banyak orang dalam hidup kita. Tapi, saya yakin, sebagian besar dari mereka tak akan pernah hilang, setidaknya dalam ingatan kita.

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca