Bagaikan di Sinetron

Ini pengalaman beberapa bulan silam, ketika saya naik sebuah angkot berkapasitas 12 orang. Bisa sih sampai 15, kalau ada nekad jongkok di dekat pintu, atau kalau yang naik ukuran badan atau bokongnya minimal M semua, syukur-syukur S atau XS.  

Siang itu yang naik cukup banyak, dan saya kebagian duduk di pojok kanan belakang. Di depan saya duduk sepasang ibu-ibu beda usia yang begitu sibuk ngegosip tentang seorang perempuan bernama Ani dan seorang laki-laki bernama Hanafi. Karena mereka ngobrolnya keras banget dan saya tidak bawa headphone, apa boleh buat, kepaksa lah mendengar obrolan yang isinya kurang lebih menyayangkan bahwa Ani dan Hanafi yang sudah pacaran sekian lama, saat mereka masih sama-sama kere, eh malah bubaran ketika mau nikah.

“Tuh kan kalau orangtua banyak ikut campur, malah batal,” sesal Ibu no. 1 yang lebih tua sembari mengetuk-ngetuk kesal pancinya (beneran, entah kenapa beliau bawa panci, jelas saya nggak berani nanya).
“Eh sekarang malah si Ani dapat siapa tuh, Agus*) ya Mbak?,” Ibu no. 2 memanas.
“Bener. Beruntung banget tuh calonnya. Baru berapa bulan pacaran sudah (bakal) dapat semuanya. Lha Aninya sudah kaya raya gitu.”
“Ho’oh! Rumahnya aja magrong-magrong kayak di sinetron. Jan bak surga tenanan…ck ck ck.”
Lalu mereka berdua menerawang, mungkin membayangkan rumah mewah milik Jeng Ani tadi.
Deg! Saya mendadak kaget. Bukan…bukan lantaran kenal sama Agus*), tapi karena kalimat : ‘rumah mewah yang kayak di sinetron'.



Baru sadar, kalau sinetron ternyata adalah kiblat ‘kemewahan’ dan impian bagi sekian banyak orang. Bukan lantaran saya anti sinetron, tapi kok saya prihatin ya kalau mendengar atau melihat orang yang termehek-mehek pada tontonan yang serba nggak masuk di akal itu. Lha bukan cuma ceritanya yang ‘nganeh-anehi’ tapi juga semua detailnya. LIhat saja : orang bangun tidur kok rambutnya masih mekrok bak habis disasak dan disenprot hairspray 2 botol, bulu mata masih nempel dan blush on yang full. Atau perempuan yang digambarkan secara visual sangat agamis tapi jambak-jambakan rebutan ember (berisi uang), belum lagi laki-laki perlente yang kantornya kosong cuma ada pesawat telpon dan kerjaannya mikirin ceweknya mulu. Danseterusnya, danselanjutnya….

Saya tidak bisa menyalahkan mereka yang terkantili alias ter-attach oleh sinetron ini. Pada suatu masa, sebuah PH kaya membeli semua slot prime time di hampir semua stasiun televisi nasional dan mengisinya dengan serangkaian sinetron-sinetron yang pernah nyaris mencuci otak alm. ibu saya –- dan teman-teman beliau tentunya. Karena, tak ada alternatif tontonan, ya inilah yang dianggap paling baik. Orang Indonesia kan pasrahan. Sementara, stasiun televisi sendiri lantaran dibayar mahal plus pemasukan share iklan yang tinggi ya seneng-seneng saja.

Padahal, di hampir seluruh belahan dunia lain, serial ‘sinetron’ ini tak lain adalah ‘soap opera’, yang biasanya diputar di jam-jam di mana para pembantu dan ibu-ibu sedang melakukan pekerjaan rumah tangga. Pada jam-jam prime time, bisa jadi hanya di Indonesia saja yang memutar tayangan ala-ala opera sabun begini. Prime time biasanya akan menyajikan tontonan yang lebih bermutu, lebih masuk akal, dan lebih memerlukan otak saat menontonnya.

Sialnya, di sini bukan cuma ‘keblinger’ di jam tayang yang berimbas pada cinta dan selera, tapi juga artinya. Sinetron singkatan dari sinema elektronik, sebenarnya kalau dipikir  baik-baik adalah arti lain untuk TV movie. Yang lebih aneh, kalau tak mau dibilang tak adil : fee pemain sinetron yang aktingnya cuma mewek itu merupakan bagian termahal dari sebuah produksi. Tentu saja, ini bisa dianggap masuk akal lantaran iklan yang masuk. Tapi di belahan dunia lain, teramat sangat jarang ada produksi yang sepertiga atau bahkan setengah biayanya hanya untuk membayar fee pemain, KECUALI bila sebuah serial demikian lakunya seperti “Friends” misalnya. Dan itu juga bukan opera sabun.

Tapi, apa boleh buat, oatmeal sudah telanjur jadi bubur. Saya cuma bisa berharap, eh siapa tahu mentri kebudayaan yang akan datang punya keinginan membereskan selera yang rusak ini. Bukan apa-apa, dan bukan karena– sekali lagi- saya anti sinetron, tapi biar ibu-ibu di seluruh pelosok Nusantara ada alternatif tontonan lain yang lebih mendidik dan realistis. Mosok cuma ada Deddy dan Dude di otak mereka? Prihatin kan? 

*) bukan nama sebenarnya, bukan untuk menyamarkan, tapi lantaran saya memang nggak ingat.



Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca