Santa Cruz; the 'Spin-off'

Based on true story.

1991, Timor Timur masih bagian dari Indonesia Raya. Merdeka, ... merdeka?  Soal itu, kita semua (sudah) tahu apa jawabannya. Saya bukan pakar sejarah, bukan aktivis, bukan politisi dan seterusnya. Ini sebuah personal story, saya bukan ingin menceritakan sejarah yang hampir semua orang sudah tahu, jadi penggalan kisah nyata ini bisa jadi sangat subyektif. 

Dan ini juga barangkali hanyalah sebuah cerita kecil, sebuah 'spin-off' dari cerita besar demonstrasi 12 November 1991 yang terjadi di Santa Cruz, Dili, (mantan) Nusantara. Hari itu pasukan TNI 'memerdekakan' nyawa setidaknya 271 manusia, mencederai 382 manusia lainnya dan 250 dinyatakan hilang. 

Coba kita tengok Wikipedia.id, yang menyebutkan : "Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika SerikatAmy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992."




Sekitar sebelas tahun setelah itu, saya tanpa sengaja berkenalan dan lantas berteman dekat dengan seorang pelukis, yang kebetulan ada di hari penuh darah tersebut. Saat itu, tentu saja Timor Timur sudah bukan salah satu provinsi di Indonesia, mereka sudah merdeka dan berganti nama Timor Leste. Setelah sekian lama berkenalan dengan seniman tadi, sebut saja ER, suatu ketika saya mendapat cerita 'tambahan' dari saksi pembantaian tersebut. 

ER ternyata berteman dengan salah satu jurnalis tadi. Dan ia sebenarnya kala itu 'hang out' dengan mereka sebagai guide. Ia tak menyangka kalau hari itu, untuk pertama kalinya dirinya akan melihat apa yang selama ini hanya ia lihat di film-film : sebuah pembantaian, kuburan mayat-mayat segar, dan anyir darah. Ia mengaku sangat beruntung lantaran bisa 'bersembunyi' di tumpukan beberapa mayat pendemo yang masih hangat, bahkan mungkin ada yang belum sepenuhnya menjadi mayat, sehingga lolos dari hantaman pelor panas yang ditembakkan nyaris tanpa jeda dan tanpa ampun. 

ER, kala itu dengan kameranya sendiri merekam apa yang ia bisa. Dan ketika para jurnalis lainnya kembali ke negeri masing-masing, ER sempat jadi buronan di negerinya sendiri karena ia punya rekaman 'spin-off' pembantaian tadi. Ia berkelit dari satu kota ke kota lain dari ujung Jawa Timur, lantas ke Jawa Tengah, Yogya sebelum akhirnya berhasil lolos ke beberapa kota di Jawa Barat sebelum bisa kembali ke Jakarta. Ia mengisahkan pengalamannya itu sebagai mimpi buruk yang tak pernah akan hilang. Saya bisa mengerti, saat bercerita ia tak seperti orang yang saya kenal sebelumnya, semua garis tawanya hilang seketika. Ia berkisah sambil menghadap ke tembok, seolah melihat semuanya kembali berputar di depan matanya. Dan itu membuat saya bergidik. 




Pada sebuah pertemuan, ER menawari saya menonton 'film dokumenter' tersebut. Saya mengiyakan. Lantas VHS itu pun diputar. Tapi ER memalingkan muka pada menit-menit pertama, dan saya pun tak berani melanjutkan ke adegan berikutnya. Ini bukan "Walking Dead", serial zombie yang belakangan jadi favorit banyak orang. Saya tak bisa memberi judul untuk 'tontonan' sangat mengerikan yang tak pernah saya selesaikan itu. Bunyi rentetan senjata api yang entah kenapa terdengar begitu memekakkan, lantas diikuti  teriakan-teriakan ajal, tubuh-tubuh yang seperti berlomba masuk ke liang kubur besar dan tarikan -tarikan nafas terakhir itu bagai neraka. Entah apa skenarionya selain : bunuh, dan bantai. 

Kami lantas mematikan video. Duduk diam lama. Sebelum akhirnya memutuskan memutar  "Stealing Beauty" yang tak pernah bisa kita nikmati. 'Tontonan' sebelumnya itu terlalu menghantui, bahkan mungkin hingga kini bagi ER.  Entahlah, akhirnya saya cuma bisa berpikir, ketika sebuah rezim berkuasa, jangankan sebuah suara, nyawa saja tak ada artinya. Mendadak mereka jadi Tuhan. Sebagian Tuhan-tuhan kecil ini pernah berkuasa dan memainkan pelatuk senapannya di Timor pada kesempatan yang berbeda-beda, yang 'sialnya' kini bersaing menjadi calon presiden. 

Timor Leste sendiri, kini sudah bukan lagi bagian dari kita. Tapi saya rasa, keadilan adalah milik semua manusia - bahkan mungkin 'mantan' manusia dan 'mantan' (satu) bangsa. Kadang miris, kalau mendengar alangkah baiknya bangsa kita, yang sangat permisif dan pemaaf - dalam artian sebenarnya atau tidak - pada sejarahnya sendiri, pada orang-orang yang pernah 'playing God' untuk kepentingan golongan mereka. 

O ya, saya lupa, ini cuma sebuah spin-off yang tak bisa saya ceritakan secara detil, dan tentu saja ini bukan black campaign. Sampai sekarang, saya rasa saya masih golput. Entahlah besok atau lusa. 









Comments

Popular posts from this blog

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca