Dan Kami pun Lolos dari Maut

Kedengarannya judul yang mengerikan. Tapi memang begitu faktanya. Tanggal 3 Maret silam, saya dan teman-teman melakukan sebuah perjalanan  ke Sangatta, Kutai Timur. Paginya, pesawat yang saya naiki 'sedikit' mengalami turbulence ketika mau mendarat di bandara Sepinggan, Balikpapan. 

Ada sekitar setengah jam pesawat hanya berputar-putar di angkasa, lengkap dengan goncangan demi goncangan yang cukup menggoncang jiwa dan raga. Saya lantas teringat cerita teman lama yang katanya pernah mengalami peristiwa mengerikan di dalam pesawat : sebuah turbulence hebat. Katanya sepanjang beberapa menit yang seram tersebut semua peristiwa buruk berkelebatan di kepalanya. Sampai-sampai dia berjanji kalau masih selamat, dia akan minta maaf kepada semua orang yang pernah dia bikin kesal. Dan katanya, orang pertama yang dia mintai maaf itu adalah sopir ayahnya - orang yang pertama dia lihat ketika pesawat mendarat dengan selamat. 

Peristiwa yang saya alami nggak segitunya sih. Masih tahap sedang. Tapi ini hal yang paling saya benci saat naik pesawat. Dan rasanya juga hal yang mungkin juga dibenci semua orang.  Ketika pesawat tergoncang-goncang, saya memikirkan banyak hal, dari orang-orang yang dekat dengan saya, sampai : kalau ada apa-apa, kali ini saya nggak sendirian, minimal ada orang yang saya kenal dalam pesawat. Tapi untunglah tak terjadi apa-apa meski pesawat mendarat dengan cukup brutal.

Beberapa langkah begitu masuk ke dalam bandara, tampak Pak Raji, seorang bapak-bapak tua yang memegang kertas karton bertuliskan nama saya yang salah eja. Wajahnya terlihat sedikit cemas, seraya berkata : "Mbak, tadi kami tanya katanya nama Mbak nggak ada di penerbangan, oh ternyata telat ya?" Aduh, saya terharu setengah mati. Rasanya kalau tak malu pengen memeluk bapak tadi. 

Selanjutnya kami naik mobil menuju Sangatta. Kata sopirnya yang asli Madiun : "Paling cepat 8 jam." Dan waktu itu sudah jam 12 siang. Saya sedikit berargumen, karena perjalanan tempo hari sepertinya hanya 6 jam saja. Tapi sang sopir memberi penjelasan kalau kemungkinan akan macet di Samarinda. Dan itu memang benar. Di Samarinda, kami harus melewati 3 genangan air banjir dadakan. Tapi sebelumnya, ada sebuah peristiwa yang benar-benar di luar dugaan. 



Setelah melewati Balikpapan kami makan siang. Saya tidak ingat nama lokasinya, karena terlalu panas dan lapar. Tapi yang jelas, setelah makan dan selonjoran kami lebih segar serta siap melanjutkan perjalanan yang masih 'ngaluk-ngaluk' itu. Habis makan = ngantuk. Saya merasa sudah siap tidur, ketika melihat sebuah bus tanggung berjalan miring dengan kedua roda sebelah kirinya saja. Saya pikir, saya melihat bus miring lantaran saking ngantuknya. Tapi selain terdengar bunyi 'ciiiittt' yang cukup lama, ketiga teman saya plus sang sopir semuanya juga kaget dan berkomentar : "Gila tuh bus, ngebut banget sampai miring gitu." 

Tapi begitu komentar kami habis, bus tadi hilang dari pandangan. Si sopir mengajak kami belok lantaran penasaran, dan kalau ada apa-apa tak ada satu manusia atau kendaraan pun saat itu yang ada di lokasi dekat kami. Begitu belok, kami semua terheran-heran lantaran bus tadi raib tanpa jejak... nyaris tanpa jejak, kecuali bekas ban pada aspal. Lalu ke mana bus tadi? Di depan ada sebuah jembatan, dan kalau kita melongok ke bawah tak tampak apapun selain pepohonan yang rantingnya patah. 

Kami lantas memutuskan berhenti. Kedua teman saya, Anan dan Eeng malah langsung nyemplung memberikan pertolongan pertama. Sementara sang sopir kembali ke mobil seraya berkata : "Mbak ndak usah lihat. Serem! Saya mau cari orang yang bisa telpon ambulans." Kami pun ada di lokasi sekitar 40 menit kemudian, karena kedua teman saya ternyata benar-benar jadi relawan sampai ambulans datang. Kami baru beranjak ketika sudah ramai, dan dua mobil polisi datang. 

Sepanjang jalan, berkali-kali Rik, teman saya satunya berkata : "Coba tadi sopirnya sadar bisa-bisa bus dilempar ke kanan dan kena kita." Sementara sang sopir yang masih gemetaran, berkali-kali minta ijin merokok sambil terus 'mengenang' salah satu penumpang yang meninggal, atau bagaimana dia mendadak lemas saat menolong nenek-nenek yang tangannya patah. Dan kami baru tiba di Sangatta jam 9 malam, disambut hujan super deras. 

Besoknya berita tentang kecelakaan muncul di harian-harian lokal, dan isinya cukup berbeda dengan apa yang kami alami. Tentu saja tak ada cerita tentang para penolong pertama, bahkan tak ada cerita bagaimana bus berjalan akrobat dengan sebelah roda tadi. Tapi tak apalah, yang penting kami sudah lolos dari maut. 

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca