Matematika, Pelajaran Paling Pen(t)ing Sedunia



4 x 6, atau 6 x 4? Kok jadi 'never ending story'. 
Sebagai mantan anak sekolah yang tidak suka matematika, saya menyalahkan banyak hal atas kebingungan dan mungkin kesalahan ini. Antara lain, pada suatu ketika, saya sadar kenapa saya nggak ngeh pada teori a x b + c = n karena teori tersebut tidak diadaptasi dengan baik ke dalam bahasa dan budaya Indonesia. Saat itu saya baru tahu kalau n = number. Selama itu, saya nggak ngerti n itu hasilnya berupa angka lain, atau malah huruf lain (boleh dong saya berimajinasi sebagai penyuka ilmu non pasti). 

Guru-guru matematika yang pernah mengajari saya, mohon maaf sekali, nggak ada yang fun. Mereka selalu merasa matematika adalah pelajaran paling penting di muka bumi ini, melebihi pelajaran lainnya, terutama kesenian - yang sialnya justru paling saya sukai. Pada beberapa kesempatan, saat di SMP dan lalu SMA, pelajaran2 'tak penting' macam kesenian tadi dihilangkan dan diganti.... apa lagi kalau bukan matematika? Sebuah kebijakan sekolah yang terlalu ambisius menurut saya, lebih karena ingin murid-muridnya punya nilai bagus di pelajaran yang paling penting di muka bumi tadi.  (Faktanya, di kemudian hari sebagian besar teman saya yang jago matematika, nyaris tak ada satu pun yang jadi begawan ekonomi atau ahli kimia/ fisika.) 



Saya, pada masanya sebagai anak sekolah yang seingat saya memiliki orangtua yang rajin bayar SPP, tentu saja merasa diperkosa dengan kondisi tersebut. Dan lantas memutuskan tidak pernah hadir di pelajaran matematika tambahan, saat itu menjelang ujian kelulusan sekali pun. Kebetulan, saya punya kelebihan yang barangkali tak dimiliki oleh anak-anak berangking paling tinggi di kelas, yaitu : menirukan tulisan tangan para orangtua, dengan nyaris tanpa cela. Jadi, kalau mau bolos, tinggal pilih mau 'pakai' tulisan tangan siapa : kakek, ayah atau ibu? (Oke, ini ceritanya memang jadi rada melebar ke mana-mana, tapi tetap ada hubungannya dengan matematika tadi kok.) 

Ketika beberapa bulan menjelang ujian, dan mimpi buruk masuk sekolah dengan dijejali matematika, tanpa ragu saya bikin surat sakit dan saya titipkan kepada salah seorang sahabat saya, yang saya tahu dalam hatinya pengen banget punya kenekadan seperti saya, tapi takut nilainya jeblok. Setelah beberapa hari tak masuk, beberapa teman lain menanyakan ke sahabat saya itu, sebenarnya saya sakit apa. Karena dikira 'tak berbahaya', sahabat saya tersebut menjawab : "Sebenarnya nggak sakit kok, lagi ngecat kamar." Sialnya, hari itu Ibu N, guru matematika kami menanyakan keberadaan saya yang tak pernah tampak di ruang kelasnya. Dan spontan, R, teman saya yang mendengar saya tidak sakit menjawab kalau saya sedang mencat kamar. (Padahal, faktanya, saya bukan cuma mencat kamar, tapi juga bikin mural di dinding belakang rumah saya yang kala itu cukup lebar. Jadi, logikanya, secara matematis, nggak cukuplah kalau cuma 3 hari, apalagi salah satu lukisan saya adalah seekor burung pelangi yang menurut saya helai bulunya harus tampil sempurna : helai demi helai dengan warna yang berbeda.) 



Akhirnya, beberapa hari kemudian saya merasa, sudah waktunya kembali ke sekolah. Dan... dengan terpaksa bertemu dengan jam-jam setan matematika. Seperti sudah saya duga, saya disuruh maju ke depan untuk mengerjakan sebuah teori a x c = x atau yang lainnya, saya sama sekali tak ingat. Dan tentu saja, saya nggak bisa, lha wong nggak tertarik babar blas, apalagi bu guru yang mungil ini orangnya kurang manusiawi, masak muridnya nggak boleh ketawa di kelas. Padahal ketawa kan hal asasi semua manusia... Hadeeeh! Di antara beberapa anak lain yang mengerjakan soal di papan tulis dan nggak ada yang bisa, ada yang bener-bener gemetar, ada yang pura-pura lupa, ada pula yang diam saja seperti saya, Bu N memilih saya untuk ditanyai. 
"Nggak bisa ya?"
Saya menggeleng. Pasrah dan jujur. 
"Mbak, katanya minggu lalu nggak sakit ya, tapi mencat kamar?"
Wah, kaget banget saya dengan pertanyaan yang menghujam batin tadi. "Lha kok bisa tahu?" tanya saya dalam hati. Nggak mungkin deh sahabat saya berkhianat. Tapi lantaran saya jujur, saya jawab saja : "Iya Bu." 
Bu N tampak kaget dan makin kesal, mungkin dalam hatinya mikir kok ada murid senekad ini, berani-beraninya menggantikan matematika yang digdaya dengan mencat kamar yang sudah jelas nggak ada di kurikulum manapun. Apalagi masuk rapot. 
"Apa menurut Mbak, pelajaran matematika itu nggak penting?" lanjut Bu N sembari membetulkan letak kacamatanya.
"Maaf Bu?"
"Apa menurut Mbak matematika itu nggak penting?"
"Maaf Bu, menurut saya nggak penting. Saya tidak bisa mengerti teori seperti ini. Tapi kalau saya belanja, saya bisa berhitung tanpa pakai teori a x b = z." 
"....."
Dan saya disuruh kembali ke tempat duduk. 
Pada ijazah, saya mendapat angka 5 di pelajaran matematika, meski saya tahu ada beberapa teman yang sebenarnya lebih bloon saya. Tapi, saya mengerti ketidaksukaan Bu Guru pada saya, seperti halnya ketidaksukaan saya pada matematika. 

Toh, saya tetap harus merasa berterimakasih kepada matematika, yang telah memberi saya salah satu kontribusi terbesar dalam menentukan arah hidup selanjutnya. Antara lain kuliah di fakultas yang saya inginkan, dan tak ada pelajaran matematikanya. Sekaligus memperjelas interest saya di bidang lain, yang menurut saya tentu saja jauh lebih penting dari ilmu matematika. Bagi saya, matematika sebagai science itu penting dan sudah seharusnya dipelajari sebaik-baiknya oleh para ilmuwan terkait, begitu juga halnya matematika sebagai ilmu akuntansi/ ekonomi -- tapi itu bukan buat saya. 

Sebagai penggemar ilmu tak pasti, ilmu pasti itu membosankan. Coba nih :  kalau dua buah garis lurus disejajarkan dan dikasih tanda '+' , maka oleh pakar matematika mungkin saja akan dijawab dengan sebuah garis panjang yang kalau diukur panjangnya persis dengan dua garis terpisah tadi. Tapi oleh seniman? bisa saja dijawab dengan sebuah lingkaran, atau dua lingkaran, atau segitiga bahkan mungkin bingkai sebuah mobil. 

Tentu saja, logika dan pengalaman saya tidak akan memberi kontribusi apa pun kepada blunder 4 x6 = 6 x 4 tadi. Hanya saja, saya kadang masih berharap seandainya saja para guru tidak selalu merasa pelajarannya paling penting, mungkin jumlah orang seperti saya bisa diminimalisir. Dan andai saja, para mentri pendidikan kita yang terhormat lebih pintar sehingga bisa menetapkan kurikulum yang efektif, barangkali akan lebih banyak anak sekolah yang tidak buang-buang waktu untuk mempelajari begitu banyak ilmu yang tak mereka sukai, dan berakhir sebagai ilmu untuk mengisi TTS atau ikut kuis (seperti yang terjadi pada saya). Percayalah, sejak kecil sekalipun sebenarnya setiap orang sudah tahu apa yang mereka mau. Sebenarnya. Dan ini sama sekali tak perlu pakai hitungan matematis. 

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca