75 KM DARI KLIPOH


TUJUH PULUH LIMA kilometer. Itu hanya perkiraan Pak No – demikian panggilan pria yang tak tahu pasti kapan tanggal lahirnya itu. “Itu perjalanan bolak-balik. Kadang saya jalan sampai Sleman.”  Perjalanan yang ia maksud adalah jalan kaki memikul keranjang berisi gerabah dari desa Klipoh yang terletak tak jauh dari candi Borobudur ke ‘luar kota’, dan itu artinya sampai ke Magelang kota, Muntilan dan Sleman – seperti yang tadi ia katakan.

Pak No sudah jadi ‘tukang gerabah’ sejak usia belasan. Keluarganya memang turun temurun sudah menjadi pengrajin gerabah sejak jaman Belanda masih berkuasa.  Pak No adalah salah satu  sisa generasi ‘tukang gerabah’ tradisional masa lalu, di mana mereka masih terbiasa mengirim hasil produksi ke pasar-pasar tradisional, atau menawarkannya dari satu pintu ke pintu lain dengan cara dipikul, atau minimal membawanya dengan sepeda onthel. Berbeda dengan para pengrajin modern yang sudah menggunakan sepeda motor, atau bahkan meminta penyuplai mereka yang menjemput  produk mereka dengan mobil bak terbuka.

Klipoh bisa jadi belumlah sebesar, setenar dan sesolid Kasongan, Bantul misalnya. Saat ini Kasongan bukan hanya sudah menjadi pusat pengrajin gerabah dengan berbagai jenis dan kualitas produk, namun sudah bertahun menjadi desa wisata di Yogya yang ramai dikunjungi turis dari berbagai daerah dan Negara. 

NAMUN, tak berarti Klipoh tak punya potensi besar. Lokasinya yang tergolong cukup dekat dari Borobudur adalah sebuah nilai lebih. Dengan tambahan ‘joint-promo’, wisatawan yang berkunjung ke Borobudur bisa sekaligus diarahkan ke Klipoh. Kualitas produk Klipoh juga tak beda jauh dengan Kasongan. Meski harus diakui kreativitas pengrajin Kasongan lebih tinggi. Bisa dimaklumi, sebagian pengrajin dari Kasongan adalah ‘orang sekolahan’ dan ‘seniman beneran’. Sementara Klipoh, dusun yang berpenduduk sekitar lima ratus  jiwa atau tiga ratus  kepala keluarga yang sebagian berisi pengrajin gerabah tradisional  secara turun temurun.

Lokasi Klipoh hanya sekitar empat kilometer dari candi Borobudur, masuk wilayah kelurahan Karanganyar. Dengan delman, duapuluh ribu rupiah biaya yang dikeluarkan agar bisa masuk ke Klipoh. Jalanan di Klipoh sempit, dan seketika akan tercium bau tanah liat serba gerabah yang habis dibakar.  Anak-anak kecil berlarian melewati rumah-rumah sederhana yang terbuat dari gabungan batu bata, kayu, gedheg (anyaman bambu) dan sesekali triplek yang warnanya monoton. Di rumah-rumah itulah para pengrajin bekerja.

Lihat saja bu Suti, perempuan setengah baya ini sudah hampir tiga decade menekuni profesi sebagai pembuat gerabah. Ia mengaku kalau pekerjaannya itu bukan hanya karena ‘warisan’, tapi juga ‘keharusan’ sebagai generasi penerus sekaligus mata pencaharian. Maka, tak perlu heran bila ia bisa menghabiskan waktunya duduk di atas dingklik dan memainkan tangannya di atas’prebot’ (alat tradisional untuk membentuk gerabah).  Seperti rata-rata pengrajin gerabah Klipoh lainnya, Suti  juga bertahan dengan cara-cara pembuatan gerabah konvensional.  Pengrajin Klipoh masih menggunakan alat tradisional seperti prebot, daling, tatap, dan batu. Ini antara lain karena warga tidak mampu untuk membeli alat-alat yang mutakhir, selain bahwa "ada pertimbangan nilai seni" dengan menggunakan alat-alat lawas tersebut.

Hasil karya bu Suti rata-rata adalah alat-alat dapur, seperti cobek, kendil, wajan, anglo atau kuali. Harga belinya relatif murah, berkisar mulai dua ribu hingga tiga ribu lima ratus rupiah per buah. Dengan lugu Suti mengatakan, ia tak pernah berani mengambil untung banyak. “Laku saja sudah senang. Ndak enak kalau kasih harga kemalahan, lha wong satu ember lempung (tanah liat) saja cuma tiga ribu lima ratus rupiah kok.” Lempung itu biasa dibeli para pengajin gerabah Klipoh dari pemilik tanah di dusun tetangga yakni Dusun Wadon, Desa Karanganyar. Satu ember yang isinya berkisar lima puluh  kilogram dihargai tiga ribu lima ratus rupiah, sedangkan biaya penggilingan lempung sendiri dibandrol dengan harga yang sama per ember.

Setelah ‘turun’ dari prebot,  gerabah-gerabah basah diatur rapi sebelum akhirnya dikeringkan di halaman. Terik matahari yang bagus membuat pengeringan melalui penjemuran alamiah memakan waktu sekitar lima jam saja. Biasanya ini terjadi pada musim kemarau yang solid, yaitu antara bulan Juni hingga September. Ini berbeda jauh dengan proses pengeringan saat musim penghujan, yang bisa membutuhkan waktu satu hingga dua minggu.  Setelah kering, gerabah-gerabah ini lantas siap dibakar. Sekali pembakaran ada sekitar seratus buah yang dapat masuk ke  dalam ‘lemari pembakaran’.

SINAR MATAHARI bisa jadi adalah sahabat terbaik para pengrajin gerabah.  Di musim kemarau panjang seperti yang terjadi belakangan, produksi gerabah bisa meningkat. Sementara ketika ‘musim mendung’ tiba, selain lamanya pengeringan tadi, juga berakibat pada menurunnya kualitas produk. Karena apabila pengeringan tidak sempurna, hasil jadi kreasi para perajin mudah retak. Solusinya, barang yang retak tersebut dihancurkan dan diolah lagi. “Mindo gaweni” alias kerja dua kali, begitu kata mereka. Selain kendala cuaca,  ada masalah lain,  salah satunya makin menipisnya persediaan bahan baku tanah liat.

Padahal tanah liat di desa ini ada di hampir setiap jengkal halaman rumah mereka, karena pada kedalaman mulai tiga meter ke bawah, bila digali akan bisa ditemukan tanah liat. Konon, nama Klipoh sendiri berasal dari kata Sansekerta, yaitu "kali" dan "poh poh" (tempat). Artinya, sebuah tempat dekat kali. Daerah sekitar kali memiliki banyak tanah liat. Ini yang memungkinkan Klipoh menjadi pusat kerajinan gerabah.  Oleh para sesepuh Klipoh, gerabah mereka dikatakan sama atau lebih tua usianya dengan candi Borobudur. Mereka percaya saat candi Borobudur dibangun pada abad ke delapan di masa pemerintahan Dinasti Syailendra, gerabah buatan Klipoh sudah digunakan para pekerja candi untuk memasak. Ada cerita rakyat di sana tentang nyai Kundi, seorang perempuan yang memulai tradisi sebagai pengrajin gerabah. Ia disemayamkan di Ngunden. Warga Klipoh suka mengadakan upacara adat untuk leluhur, biasanya berupa tahlilan di masjid jelang bulan Ramadhan. Meski sejarahnya berakar dari zaman Syailendra, sebagian besar warga Klipoh saat ini memeluk Islam. 
Pak No juga percaya kisah itu. “Ndak mungkin  kita akan kehabisan lempung,” katanya ringan. “Ndak mungkin juga kita akan kehabisan sinar matahari. Wong kita sudah begini sejak ratusan tahun. Ndak mungkin Gusti Allah sekejam itu.” Bisa jadi omongannya ada benarnya.

Bagi Pak No, menggeluti gerabah adalah bagian dari hidupnya. Sudah bak doa. Tak ada beban, tak ada ganjalan. Justru sebaliknya. Ia juga menyambut gembira saat Klipoh dijadikan oleh pemerintah setempat sebagai desa wisata. Kini, membuat gerabah bukan eksklusif mirip penduduk Klipoh. Sejak dibuka sebagai desa wisata, siapapun yang berkunjung ke Klipoh dapat menyaksikan proses pembuatan gerabah dengan cara tradisional. Bahkan bisa belajar membuat gerabah di bawah bimbingan para pengrajin yang ramah dan sabar. Sepintas lalu membuat gerabah terlihat mudah, hanya memutar-mutar perbot (alat pemutar tradisional) dan membentuk kwangsu (tanah liat yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan gerabah) sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Faktanya, membuat gerabah tidak semudah seperti yang biasa dilakukan warga Klipoh,  diperlukan konsentrasi dan kecermatan serta kesamaan gerak antara memutar perbot dan membentuk kwangsu.

Supoyo, seorang pengrajin yang boleh dikatakan salah satu yang paling sukses di Klipoh ikut berpartisipasi di program tersebut. Hampir setiap hari, khususnya selama musim wisatawan mancanegara ke Candi Borobudur, antara Juli hingga September, rumah galerinya di Dusun Klipoh, mendapat kunjungan sekitar 10 wisman seperti berasal dari Belanda, Australia, Malaysia, dan China. 

Pak No ikut gembira dengan pencapaian Supoyo tersebut.  “Gusti Allah sudah bagi-bagi jatah keahlian dan rejeki,” ujarnya.   Ia tak pernah begitu pusing dengan pendapatan yang pas-pasan, atau rumahnya yang tak sebagus perajin lainnya. “Begini-begini, anak saya sarjana,” katanya bangga. “Yang penting kalau kita bekerja dengan ati ayem (hati yang damai), pasti hasilnya menyenangkan.”

Sebuah filosofi yang sangat sederhana yang sudah ia jalankan puluhan tahun lamanya. Sejak gerabah masih merajai alat dapur, hingga sekarang sudah digantikan peralatan modern yang canggih. Pak No bercerita kalau adiknya yang juga pengrajin sekarang ikut forum pengrajin Klipoh yang membantu mereka menjual hasil produksi gerabah.  Selain itu, forum pengrajin ini adalah wadah bagi pengrajin tradisional untuk tetap bisa bertahan di era industrial.

Pak No menggeleng saat ditanya apakah ia ikut forum tersebut. Ia mengatakan kalau modernitas adalah milik semua orang yang menginginkan tapi bukan dirinya.”Biarlah, itu kan jatah yang muda-muda,” katanya dalam bahasa Jawa. Pria tua itu lantas bercerita dulu pernah ia keserempet bus sampai seluruh gerabah yang ia bawa pecah semua. Atau saat banjir dan pikulannya hanyut.

"Dulu saya kalau 'mikul' kuat sampai satu kuintal.  Jalan kaki sampai Pasar Grabag harus melewati Kali Gending (Kecamatan Mertoyudan), berangkat siang begini, lalu menginap di Pasar Secang, baru besoknya meneruskan sampai Grabag.”  Kadang ia sendirian, kadang dengan tetangganya, yang kini sudah jauh menua dan pensiun mikul.

Matanya menerawang saat bercerita dulu pelanggannya berderet di kota Magelang. “Ibu-ibu rumah tangga. Ndak Jawa, ndak China,” kisahnya. “Sekarang sebagian sudah pada meninggal. Dan anak-anak mereka tidak meneruskan (menggunakan alat masak dari gerabah). Padahal kalau masak pakai kuali itu lebih enak ketimbang pakai panci. Minum dari kendi juga lebih segar dari pada pakai botol plastik.”

Bisa jadi pak No adalah contoh manusia ‘keras kepala’ yang tak mau tersentuh kemajuan jaman. Namun bisa jadi pula, kalau ia memang orang yang begitu percaya pada apa yang ia yang ‘miliki’, dalam hal ini : kecintaannya pada profesinya, dan tentu saja sepasang kakinya itu.

Sepasang kaki yang masih mampu membawanya puluhan kilometer. Harapannya pun masih panjang. „Kalau usaha, mosok tho ndak ada hasil? Biar ndak selaris dulu, tapi masih ada yang beli kok,“ ujar Pak No lantang, seolah lupa kalau usianya tak lagi muda.  Sambil tersenyum memamerkan giginya yang sebagian sudah tanggal, pak No berkata,  “Kalau di KTP tahun baru besok umur saya sudah tujuh puluh lima.“ Persis dengan kilometer yang ia sering tempuh.

Comments

Popular posts from this blog

Santa Cruz; the 'Spin-off'

WOMEN LEAD, PEREMPUAN TANPA "dapur, sumur dan kasur"

'egla-egle' bak cuaca